Sukses

Tom Lembong Sebut Tesla Produksi China Tak Pakai Baterai Nikel, Bahlil Beri Jawaban Menohok

Tom Lembong mengatakan produsen mobil Tesla di China telah menggunakan LFP 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel.

Liputan6.com, Jakarta Lithium Ferro Phosphate (LFP) dan NMC (Nickel Manganese Cobalt) menjadi komoditas panas dalam industri baterai. Pemanfaatan LFP bahkan dianggap mengancam pasar hilirisasi nikel Indonesia.

Thomas Lembong, atau lebih dikenal Tom Lembong dalam podcast Total Politik mengatakan bahwa pembangunan masif smelter nikel Indonesia berpotensi merugikan karena berdampak over supply. Akibatnya, harga nikel jatuh.

Bahkan, Tom mengatakan produsen mobil Tesla di China telah menggunakan LFP 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel.

"Jadi 100 persen mobil Tesla yang dibuat di Tiongkok menggunakan baterai yang mengandung 0% nikel dan 0% kobalt . Jadi baterainya namanya LFP," kata Tom.

Menanggapi hal itu, Bahlil menegaskan Tesla masih menggunakan baterai berbasis nikel. Untuk penggunaan baterai lithium hanya untuk mobil standar menengah dan rendah.

"Tesla masih menggunakan nikel. Dia (Tesla) pakai LFP itu untuk produk yang standar yang biasa," kata Bahlil saat konferensi pers realisasi investasi 2023, Rabu (24/1).

industri Nikel Indonesia

Saat dikonfirmasi kembali, Bahlil juga menegaskan industri nikel Indonesia tetap kompetitif meski persaingan baterai dengan lithium dari China semakin kuat.

Menurut Bahlil, menguatanya industri nikel Indonesia sangat kompetitif ditandai dengan investasi perusahaan asal China Contemporary Amperex Technology Co. (CATL) melalui PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd. (CBL).

"(Industri nikel Indonesia) kompetitif dong, kalau tidak kompetitif enggak mungkin CATL masuk ke Indonesia," pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Baterai Kendaraan Listrik Berbahan Nikel Vs LFP, Mana Lebih Baik?

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan, nikel masih digunakan untuk bahan baku baterai mobil listrik.

Hal itu menanggapi pernyataan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong yang menyebut Lithium Ferrophosphate (LFP) sebagai alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik ketimbang nikel.

"Ini sumber polemik, saya ingin katakan tidaklah benar kalau ada seorang mantan pejabat atau pemikir atau siapapun yang katakan nikel ga lagi jadi bahan yang dikerja investor untuk buat baterai mobil," kata Bahlil dalam konferensi pers kinerja investasi tahun 2023, di Kantor Kementerian Investasi, Rabu (24/1/2024).

Bahlil menjelaskan, memang LFP dipakai Tesla lantaran mobilnya masih tergolong standar. Namun, kualitas terbaik untuk bahan baku kendaraan listrik masih dipegang nikel. Bahkan Bahlil menegaskan baterai dengan komposisi nikel lebih bagus dibanding LFP.

"Tesla sebagian juga masih memakai baterai mobil yang bahan baku nikel. Jadi jangan omon-omon saja!" ujarnya.

Nikel Komoditas Penting

Lebih lanjut, Menteri Investasi menyebut nikel komoditas penting. Hal itu terlihat dari banyaknya pihak yang menekan Indonesia lantaran Indonesia memiliki komoditas nikel terbesar di dunia.

Dalam kesempatan ini, Bahlil menyoroti terkait data IMF pada tahun 2023 yang pernah merilis laporan bahwa IMF mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen, kemudian inflasi terjaga.

Kendati begitu, kata Bahlil, IMF juga merekomendasikan kepada Indonesia agar melakukan pelarangan ekspor barang mentah. Rekomendasi tersebut sebagai wujud ketidaksukaan terhadap  hilirisasi yang dilakukan Indonesia. "Jangan sampai bangsa ini ada antek asing dalam pengaruhi kebijakan publik," pungkasnya. 

3 dari 4 halaman

Sudah Kuat di Nikel, Indonesia Bakal Ikut Kembangkan LFP?

Sebelumnya, Indonesia sempat digadang-gadang bisa ikut terlibat dalam rantai industri kendaraan listrik, karena memiliki kekayaan berupa nikel. Namun, nikel mendapat tantangan dari lithium ferrophosphate (LFP) yang dipakai pabrikan besar dunia sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan menilai Indonesia sebenarnya punya potensi untuk mengembangkan nikel dan LFP di industri hilir.

Hanya saja, ia melihat pasar baterai kendaraan listrik di Tanah Air belum sebesar negara lain. Sebab, Nurul mengatakan pemakaian EV di Indonesia terhitung masih sangat rendah.

"Sebenarnya dua-duanya tetap berlaku. Kita punya potensi. Bagi kami sebenarnya potensi untuk mengembangkan itu untuk downstreamnya masih terbuka," ujar Nurul di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).

"Potensi pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC (Nickel Manganese Cobalt Oxide) masih punya kemungkinan. Saya lihat 2040 atau 2035 masih bisa tumbuh dua-duanya," sambungnya.

Nurul pun tidak mempermasalahkan klaim bahwa pabrikan kendaraan listrik sekarang banyak beralih ke LFP, seperti diutarakan Co Captain Timnas AMIN, Thomas Lembong. Namun, itu belum tentu akan terus berlaku ke depan.

"Kalau disampaikan para ahli seperti pak Tom Lembong, dan ahli lain itu ada benarnya. Tapi belum tentu 100 persen benar karena ada sesuatu yang belum terjadi ke depan. Karena at the end of the day demand akan memengaruhi itu semua," imbuhnya.

Terkait potensi Indonesia mengembangkan LFP, Nurul mengakui negara tidak punya modal bahan baku yang cukup memadai.

"Kita lithium tidak punya, kemudian untuk Fe besinya kita punya, tapi kita juga tahu tidak ada yang terkonsentrasi dalam jumlah besar dalam satu tempat. Biasanya kecil-kecil, bukan berarti kita tidak punya," tegasnya.

 

4 dari 4 halaman

Investasi

Meskipun begitu, Indonesia bisa menarik investasi untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Sehingga pemerintah pemerintah membuka pasar sehingga bisa menjadi daya tarik bagi investor.

"Kalau bicara investasi tidak harus kita punya itu. Tetapi kalau ekosistem EV itu sudah ada, itu sudah jadi daya tarik sendiri. Maka yang jadi tujuan kita sekarang membangun ekosistem itu dulu, market kita buka. Sehingga ini menjadi daya tarik mereka," urainya.

"Entah mereka kalau bikin baterai LFP prosesnya boleh saja dibikin di Indonesia karena berdekatan dengan industrinya. Kalau ekosistem baterai sudah ada di Indonesia, EV-nya juga akan muncul di Indonesia," pungkas Nurul.

Video Terkini