Sukses

Mendagri Siap Hadapi Judicial Review Pengusaha soal Aturan Pajak Hiburan

Judicial review merupakan langkah hukum yang jadi hak setiap warga negara, termasuk pada pengusaha hiburan seperti karaoke hingga spa. Maka, Mendagri Tito Karnavian menghormati upaya hukum pengusaha hiburan.

Liputan6.com, Jakarta - Sederet kalangan pengusaha di sektor hiburan melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pajak hiburan di Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap pihaknya siap menghadapi gugatan tersebut.

Tito mengatakan, judicial review merupakan langkah hukum yang jadi hak setiap warga negara, termasuk pada pengusaha hiburan seperti karaoke hingga spa. Maka, dia menghormati upaya hukum tersebut.

"Gapapa, itu kan hak. Kita justru silakan kalau ada yang.., bagusnya begitu, bagusnya, ada yang gak puas, judicial review, diminta aja JR ke Mahkamah Konstitusi," ujar Tito di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (29/1/2024).

Sebagai perwakilan pemerintah, Tito menyebut akan menghadapi proses hukum tersebut. Dia turut menyinggung kalau perumusan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hiburan atau pajak hiburan dalam UU HKPD melibatkan pemerintah dan DPR RI.

"Nanti ktia akan hadapi. Karena yang membuat undang-undang kan pemerintah dan DPR. DPR ada perwakilan, pemerintah ada perwakilan. Jadi kita dorong JR-nya," paparnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap hal serupa. Dia mengamini adanya proses hukum yang legal yang dijalankan oleh pengusaha.

"Lah iya itu mereka maju ke MK itu, yaa biarin lah. Kan semua punya hak mau ke MK, kalau masalah judicial review, jadi jangan dibilang melanggar konstitusi atau melanggar undang-undang, ndak melanggar, itu prosedur yang dibuat untuk men-challenge undang-undang yang ada," tuturnya beberapa waktu lalu.

2 dari 4 halaman

Gugatan Pengusaha

Sebelumnya, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan kalau sudah ada pemerintah daerah (Pemda) yang memungut pajak hiburan dengan tarif baru. Padahal sedang ada proses hukum yang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kami menyampaikan kepada beliau (Menko Luhut) bahwa kami masih mengahadapi kendala di lapangan karena pihak Pemda itu sudah mulai mengeluarkan tagihan dengan tarif baru. Sedangkan kami proses ke MK yang tentu makan waktu panjang," ujarnya di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta, Jumat (27/1/2024).

Dia juga meminta pemda untuk menjalankan amanat Undang-Undang HKPD soal insentif bagi pengusaha hiburan. Misalnya bisa dengan pengurangan tarif atau oenghapusan denda.

"Kami mohon ke pak Luhut sebagai Menko yang membawahi bidang pariwisata, untuk dapat membantu agar kepala daerah dapat menggunakan kewenangannya yang tercantum di pasal 101 UU no 1 (tahun) 2022 di mana dalam pasal itu daerah berhak untuk mengeluarkan insentif fiskal. Dapat berupa pengurangan tarif penghapusan denda dan sebagainya," bebernya.

3 dari 4 halaman

Curhat Pengusaha

Pengacara dan pengusaha kondang Hotman Paris Hutapea menyambangi kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengeluhkan aturan pajak hiburan sebesar 40-75 persen.

Aturan yang dikeluhkan itu merujuk pada Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Hotman Paris pun tak datang sendiri, turut hadir Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan artis Inul Daratista.

"Kita kemarin ketemu pak Mendagri, hari ini ketemu pak menko luhut, dua duanya sependapat angka 40 persen tidak masuk di akal," ujar Hotman kepada wartawan di Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (27/1/2024).

4 dari 4 halaman

Tak Masuk Akal

Dia memandang kalau pengenaan pajak hiburan minimal 40 persen bukan sesuatu yang normal. Dia turut membandingkan dengan perolehan pendapatan yang diambil oleh pengusaha.

Bahkan, Hotman mengungkap kalau ada daerah yang sudah menerapkan pajak hiburan sebesar 75 persen.

"Karena kalau otak lu masih normal, ngga ada perusahaan yang bayar 40 persen dari gross. Kalau untung 10 persen tapi harus bayar 40 persen itu ada keanehan," tegasnya.

"Bahkan di daerah sudah ada yang pakai pajak 75 persen dari gross pendapatan. Masuk di akal nggak lu?," sambungnya.