Liputan6.com, Jakarta Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengagumi komitmen program hilirisasi yang dijalankan Presiden Joko Widodo. Eks Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2005-2009 ini bahkan mengibaratkan Jokowi selayaknya sopir angkot Medan, yang dibantu oleh Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai keneknya.
Perbandingan itu diberikan lantaran keduanya berani menerjang berbagai desakan dari luar negeri yang tidak menyukai program hilirisasi yang diusung Pemerintah RI.
Baca Juga
Lutfi mengatakan, Indonesia kini berhadapan dengan investor luar yang seolah bermuka dua. Dahulu, mereka diklaim menilai hilirisasi sebagai program yang bagus bagi negara menengah bawah agar bisa industrialisasi. Begitu dilakukan, penilaian jadi bersifat subjektif dan menganggap hilirisasi itu jelek.
Advertisement
"Kebetulan, presiden kita ini berani dan gagah perkasa. Kalau saya analogikan beliau kayak supir Medan. Naik gak naik, kita jalan. Dan, yang jalan ini kebetulan juga berani, investornya," ujar Lutfi dalam acara bincang bersama Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) di Jakarta, Senin (29/1/2024).
"Pak Luhut ada dimana? Ini keneknya. Ini juga jago, dan sangat berani. Ini perjumpaan yang saya bilang tadi, Indonesia pusaka," imbuh dia.
Hilirisasi Nikel
Lebih lanjut, Lutfi lantas membuat perbandingan dalam proses hilirisasi nikel. Dalam hal industri baterai kendaraan listrik, China disebutnya tidak serta merta meninggalkan nikel demi lithium ferrophosphate (LFP) yang ditenggarai lebih murah ongkos.
"Jadi dia invest di Indonesia dua-duanya juga. Nanti yang menang dia ambil satu. Karena kenapa, mereka punya penduduk 1,3 miliar. Kalau tetangganya cuman 100 juta (Jepang), dan menua. Setiap tahun hilang penduduknya. Sedangkan mereka melihatnya penduduk dunia akan terus bertambah dan rakyatnya masih 1,3 miliar," ungkapnya.
"Jadi mereka melihat risiko itu berbeda dari banyak negara maju, dimana penduduknya itu sudah menurun. Kita melihat penduduk kita terus bertambah sampai 2038. Jadi, appetite melihat risiko itu berbeda dari banyak negara maju. Karena kenapa, mereka berkepentingan untuk dua-duanya, karena dua-duanya ini mas depan mereka," kata Lutfi.
Industri Nikel Diramal Tak Akan Seret, Pemerintah Tak Perlu Pusing
Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meyakini nikel selaku kekayaan alam Indonesia bakal tetap dibutuhkan dunia, termasuk untuk industri baterai kendaraan listrik. Meskipun lithium ferrophosphate (LFP) saat ini disinyalir bakal menyalip nikel sebagai bahan baku utama baterai EV.
Bahkan, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2005-2009 ini menilai pemerintah tidak perlu terlalu mengatur nikel sebagai bahan baku wajib produksi baterai kendaraan listrik. Seperti dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023, yang tidak mewajibkan pemakaian nikel untuk ekosistem industri kendaraan listrik di Tanah Air.
"Enggak perlu. Jadi kalau dipaksa, orang enggak mau. Biar aja. Nikel ini barang pusaka, dibutuhkan buat macam-macam. Udah enggak perlu (terlalu diatur), enggak apa-apa. Hukum alam aja berjalan, jadi jangan takut, biar aja," ujar Lutfi selepas acara bersama Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) di Jakarta, Senin (29/1/2024).
Masih Banyak Pengguna
Pasalnya, Lutfi menyebut perlombaan antara nikel dan LFP bagi industri kendaraan listrik belum mencapai garis finish. Sebagai perbandingan, ia menyebut pemakaian baterai EV berbasis nickel manganese cobalt oxide (NMC) masih dominan di Amerika Serikat.
"Jadi kalau kita lihat, CATL itu salah satu perusahaan baterai dan mobil listrik terbesar dunia. Mereka baru invest, hampir USD 10 miliar di Indonesia. Jadi teknologi ini akan tetap terus bersaing," kata Lutfi.
Advertisement
Baru Kelihatan 10 Tahun Lagi
"China masih berinvestasi untuk dua-duanya. Mungkin 10 tahun dari sekarang baru kelihatan siapa (yang akan menang), tapi baterai sekarang masih didominasi oleh nikel. Dan kita masih bertahan bahwa nikel masih menguasai, karena gadget semuanya masih tetap nikel," urainya.
Lutfi pun tidak mempermasalahkan pasar mobil listrik di Indonesia, yang berasal dari China dan masih dikuasai baterai berbasis LFP. Menurutnya, itu belum jadi patokan kekalahan nikel atas LFP.
"Memang LFP itu sudah dipakai oleh baterai-baterai baru. Tapi bukan berarti nikel ini kalah, nikel ini masih lebih superior banyak dari LFP. Karena dia ini lebih diterima. Di Amerika charger-charger masih pakai NMC," pungkas Lutfi.