Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kondisi terkini perekonomian global yang disinyalir akan terus melemah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Asumsi itu berasal dari proyeksi ekonomi global terbaru versi Bank Dunia (World Bank).
"World Bank perkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat dari sebelumnya 3 persen di 2022, menjadi hanya 2,6 persen pada 2023 YoY, dan kembali menurun jadi 2,4 persen pada 2024 ini," terang Sri Mulyani dalam sesi konferensi pers hasil rapat I tahun 2024 Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Baca Juga
"Jadi situasi ekonomi menurut Bank Dunia 2023 lebih lemah dari 2022, tahun 2024 juga lebih lemah dari 2023," imbuh Sri Mulyani.
Advertisement
Di tengah kondisi tersebut, perkembangan ekonomi di tiap-tiap negara besar pada 2023 cenderung berbeda. Sri Mulyani menyinggung Amerika Serikat, yang disinyalir tetap tumbuh kuat meskipun mengalami tekanan fiskal.
Â
"Ekonomi Amerika Serikat tumbuh kuat, tapi tekanan fiskal khususnya beban pembayaran bunga utang dan rasio utang menjadi risiko utama ke depan," ungkap Sang Bendahara Negara.
Â
Sebaliknya, Eropa dan China diprediksi masih mengalami pelemahan. Khususnya China, akibat krisis di sektor properti hingga pemerintah daerahnya yang terlilit utang.
"Di Eropa ekonomi masih melemah. Di China juga masih melambat akibat krisis sektor properti," kata Sri Mulyani.
"Kemarin Pengadilan Hong Kong pastikan salah satu perusahaan properti terbesar China, Evergrande alami kebangkrutan. Juga utang dari tingkat pemerintah daerah atau provinsi. Ini menyebabkan ekonomi Tiongkok cenderung melambat," tuturnya.
Â
Akankah Resesi Ekonomi Melanda Dunia di 2024? Ini Ramalannya
Sebelumnya, ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan Periode 2013-2014 Chatib Basri, bicara soal proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China.
Untuk Amerika Serikat, ia menilai peluang terjadinya resesi ekonomi di negara tersebut kecil pada tahun ini. Sedangkan, untuk China diproyeksikan pertumbuhan ekonominya akan melambat.
"Saya rasa probabilitas resesi di Amerika Serikat kecil tahun ini, growth akan relatif lebih baik di Amerika. Jadi, saya setuju dengan itu, probabilitas resesinya kecil di AS. China akan ada slowdown, tapi gak ada resesi," kata Chatib saat ditemui dalam Forum diskusi IFF yang digelar di Astor Ball Room St. Regis Hotel Jakarta, Senin (29/1/2024).
Chatib menjelaskan, terdapat perbedaan antara resesi dengan perlambatan ekonomi. Menurutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi artinya ekonomi di negara tersebut melambat namun tidak mengalami resesi. Sementara, resesi artinya sudah pasti negara itu pertumbuhan ekonominya negatif.
"Bedakan antara resesi dengan slowdown. Kalau slowdwon itu tumbuh tapi melambat, kalau resesi pertumbuhannya negatif, China gak akan tumbuh negatif, tahun ini mungkin dia bisa tumbuh 4,5 persen," ujarnya.
Lantas apa pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia?
Lebih lanjut, Mantan Menteri Keuangan ini menilai jika di Amerika Serikat terjadi resesi maka akan mempengaruhi kebijakan The Fed terkait penurunan suku bunga.
"Mungkin Fed akan turunkan tingkat bunga 2-3 kali di paruh kedua 2024, challenge-nya adalah defisit di AS itu masih besar, jadi akan ada kebutuhan bond issuance yang cukup besar," ujarnya.
Advertisement
Potensi Resesi
Di sisi lain, jika kemungkinann resesi di Amerika itu mengecil, maka orang tidak akan memegang obligasi (bonds), karena uang warganya digunakan untuk transaksi yang lain.
"Jadi, demand bonds akan turun, supply-nya naik, maka price akan jatoh dan yeild akan naik, ini yang akan membuat The Fed harus hati-hati dalam menurunkan tingkat suku bunga," jelasnya.
Alhasil jika The Fed menurunkan tingkat suku bunga, maka kemungkinan rupiah akan menguat. "Mestinya kalau lihat dari efek dari global, kalau Fed itu menurunkan suku bunga, mestinya rupiah bisa menguat," pungkasnya.Â