Liputan6.com, Jakarta - Indonesian Petroleum Association (IPA) melihat peran sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih besar di tengah mencari sumber-sumber energi baru terbarukan. Dalam proses transisi energi di Indonesia, setor hulu migas tak bisa langsung ditinggalkan.
Direktur Executive IPA Marjolijn Wajong menjelaskan, akan ada banyak perubahan dalam tata kelola sektor migas terutama dengan adanya perubahan pemimpin baru.
Baca Juga
“Kami menanti arah pemimpin baru di sektor migas, kita tidak bicara orang atau golongan, kita bicara bagaimana nih arah yang benar untuk sektor migas yang sekarang mengalami banyak perubahan,” kata Marjolijn dalam acara Media Briefing IPA Convex 2024, Kamis (1/2/2024).
Advertisement
Menurut Marjolijn saat ini sektor migas sedang mengalami lepas landas atau peningkatan yang merupakan momen penting yang harus terus digaungkan terutama adanya perubahan dalam sektor energi transisi.
“Kita berharap mendapat pemimpin yang dapat mengerti migas dan memberikan peraturan. Kalau ada perubahan tapi perubahannya positif, kita harus mendorongnya. Kami yang penting presiden yang memahami isu-isu tapi kriteria untuk presiden kan macam-macam,” jelas Marjolijn.
Pada kesempatan yang sama, Energy Team Bimasena yang juga mantan Gubernur OPEC, Widyawan Prawira Atmaja menuturkan pendekatan migas diperlukan jangka panjang, sehingga dibutuhkan kebijakan yang memudahkan investor untuk masuk.
“Pertanyaannya adalah bagaimana membuat Indonesia menjadi tempat dimana investor itu bukan hanya mau investasi tapi nyaman. Mereka melihat dari sumber daya setelah itu kemudahan dalam berusaha,” ujar Widyawan,
Widyawan menambahkan saat ini Indonesia punya momentum, ada temuan temuan yang besar khususnya dari gas jadi tidak bisa dipungkiri gas ini menjadi dominan.
Ada Transisi Energi, Jumlah Kendaran Pakai BBM Cuma Tersisa 40 Persen di 2040
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi adanya pengurangan jumlah kendaraan berbasis BBM kedepannya. Bahkan, pada 2040 mendatang, hanya tersisa 40 persen dari jumlah total kendaraan yang ada.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana menilai hal ini bisa terjadi karena bauran energi bersih. Salah satunya peralihan dari kendaraan bertenaga BBM, internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik berbasis baterai.
"Proyeksi ini memperlihatkan transisi energi ini akhirnya akan membuat kita harus menentukan jenis-jenis kendaraan baru. Sehingga ICE, itu akan berkurang," kata dia di kantor Kementerian ESDM, dikutip Minggu (28/1/2024).
"Forecast (prediksi) di 2040 tinggal 50 persen malah ada yang bilang tinggal 40 persen, dan sisanya itu adalah kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan," sambungnya.
Advertisement
Ragam Kendaraan Ramah Lingkungan
Agus mengatakan, kendaraan yang ramah lingkungan itu cukup beragam. Mulai dari kendaraan listrik (electric vehicle/EV) berbasis baterai, atau kendaraan hybrid.
"Di ramah lingkungan itu ada macam-macam ada EV, ada yang hybrid," ungkapnya.
Agus kemudian melihat kembali baterai kendaraan listrik yang dipakai. Ada yang berbasis nikel, Nickel-Mangan-Cobalt (NMC), serta Lithium-Ferro-Phosphate (LFP). Keduanya digadang memiliki keunggulannya masing-masing.