Sukses

Indonesia Bisa Bernasib seperti Srilanka Jika Tak Bisa Kelola Utang

Banyak negara yang gagal dalam mengelola utangnya sehingga membuat negaranya mengalami kebangkrutan.

Liputan6.com, Jakarta Mayoritas negara-negara di dunia memiliki utang, baik negara maju hingga negara berkembang. Namun, tidak semua negara mampu mengelola utangnya dengan baik.

Wakil Rektor II Universitas Paramadina Handi Risza, mengatakan bahkan banyak negara yang gagal dalam mengelola utangnya sehingga membuat negaranya mengalami kebangkrutan.

"Banyak negara-negara yang mengalami kegagalan bahkan mungkin bisa dikategorikan bangkrut ketika gagal mengelola utang. Sebagian besar adalah negara berkembang," kata Handi dalam Diskusi Universitas Paramadina 'Masalah APBN, Utang dan Tax Rativo Rendah: PR Presiden Yang Akan Datang', Senin (5/2/2024).

Adapun contoh negara yang gagal dalam mengelola utang adalah Yunani. Negara ini dinyatakan bangkrut disebabkan gagal membayar utangnya yang mencapai 360 miliar Euro atau setara Rp 5.000 triliun.

Kemudian, Argentina. Negara ini sudah dua kali mengalami gagal bayar utang yakni pada 2001 dan 2014. Di 2014 para kreditur menolak penawaran negosiasi pembayaran utang Pemerintah Argentina.

Standard & Poor's (S&P) saat itu langsung memposisikan Argentina dalam status 'Selective Default'. Jumlah utang yang masih harus dibayar Argentina kepada para kreditur sebesar lebih dari USD 1,3 miliar.

"Mungkin Argentina dulu pernah menjadi salah satu negara maju, setelah itu turun dan posisinya masuk ke dalam kategori negara berkembang," ujarnya.

Selanjutnya, ada Srilanka, yang tidak mampu membayar utang akhirnya Pemerintah melepas Pelabuhan Hambatota sebesar USD 1,1 triliun kepada China.

"Srilanka punya problem dengan China karena beberapa Proyek Startegis Nasional terutama pelabuhan Hambatota yang sebagian besar pembiayannya berasal dari China Development Bank," ujarnya,

Menurutnya, pola utang yang dilakukan Srilanka dalam pembangunan pelabuhan tersebut sama seperti pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

"Polanya ini sama seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung. Awalnya proyek ini murni Bussines to bussines, tapi konsorsium nasional mereka (Srilanka) tidak mampu membiaya sesuai dengan kesepakatan yang ada dan akhirnya pengelolaannya di lepaskan ke China, dan diambil alih langsung oleh China," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Indonesia

Diketahui, megaproyek transportasi KCJB mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CBD). Tercatat Kereta Cepat Jakarta-Bandung awalnya diestimasi hanya memakan biaya USD 5,5 miliar, kemudian membengkak jadi USD 5,8 miliar dan meningkat lagi jadi USD 6,07 miliar.

Kemudian setelah melalui negosiasi panjang, pada 2023 proyek ini ditetapkan membengkak biayanya USD 1,2 miliar. Sehingga proyek Kereta Cepat saat ini memiliki total pembiayaan sebesar USD 7,27 miliar.

"Kita khawatir juga di Kereta Cepat ini terjadi peningkatan yang cukup signifikan, kemudian membengkak. Karena konsorsium kita juga tidak mampu membiaya ini, maka China meminta kepada Pemerintah untuk menjadikan APBN sebagai penjamin. Jadi, kereta Cepat ini dijaminkan kepada APBN dan kita tidak tahu kelanjutannya seperti apa," ujarnya.

Handi pun khawatir pengelolaan utang Indonesia bisa bernasib serupa seperti di Srilanka. Namun, ia berharap hal itu tidak terjadi dan bisa diselesaikan dengan baik.

"Kalau belajar dari kasus Srilanka, janga-jangan ini juga bisa melepas dan kemudian dikuasasi sepenuhnya oleh China dalam hal ini," pungkasnya.