Liputan6.com, Jakarta - Indeks dolar Amerika Serikat (USD) melemah pada Rabu, 7 Februari 2024. Sedangkan Nilai tukar rupiah ditutup menguat 95 poin menuju 15.635 per dolar AS.
Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan pada Selasa 6 Februari 2024 bahwa jika perekonomian AS berjalan sesuai ekspektasinya, hal ini dapat membuka pintu bagi penurunan suku bunga.
Baca Juga
Namun, Mester juga menyebut dia belum siap memberikan waktu untuk kebijakan yang lebih mudah di tengah ketidakpastian inflasi AS. Hal senada juga disampaikan gubernur bank sentral lainnya.
Advertisement
FedWatch Tool milik CME Group saat ini menunjukkan, pedagang memperkirakan peluang pemotongan suku bunga The Fed sebesar 19,5 persen pada Maret 2024, dibandingkan dengan peluang 68,1 persen pada awal tahun.
Adapun perkiraan pemotongan sekitar 117 basis poin (bps) pada akhir tahun 2024, dibandingkan dengan antisipasi sekitar 150 bps pada awal Januari 2024.
Kekhawatiran pasar terhadap kesehatan ekonomi Tiongkok masih terus berlanjut. Meskipun pihak berwenang Tiongkok mengumumkan sejumlah langkah untuk mendukung pasar saham lokal pada minggu ini, mereka tidak berbuat banyak untuk mengatasi lambatnya pemulihan ekonomi di negara tersebut.
Sementara itu, data inflasi Tiongkok untuk bulan Januari akan dirilis pada Kamis besok (8/2). Data tersebut juga muncul sebelum periode libur Tahun Baru Imlek.
Rupiah Menguat
Rupiah ditutup menguat 95 poin menjadi 15.635 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level 15.730 per dolar AS.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang 15.600 per dolar AS - 15.670, per dolar AS” ungkap Ibrahim dalam perkiraannya.
Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia tahun 2023 tercatat 5,05 persen. Angka ini meleset dari target pemerintah yang memproyeksikan ekonomi 2023 tumbuh di kisaran 5,31 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi RI di akhir 2023 masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 2,55 persen dari total pertumbuhan ekonomi 5,05 persen.
Meski demikian, konsumsi rumah tangga pun melambat dari 4,94 persen pada 2022 menjadi 4,82 persen di 2023.
“Momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 seharusnya bisa menjadi salah satu pendorong konsumsi rumah tangga. Namun, memang terdapat sejumlah faktor yang lebih kuat dalam memengaruhi pelemahan dari konsumsi rumah tangga,” kata Ibrahim.
“Sedangkan, faktor pendorong loyonya konsumsi juga dipengaruhi oleh pelemahan ekonomi global yang berdampak ke dalam negeri. Sebab, permintaan ekspor dari negara tujuan dagang RI menjadi melemah, di mana komoditasnya pun akan ikut merosot dan memengaruhi pendapatan masyarakat yang bermata pencaharian lewat barang atau jasa berorientasi ekspor,” paparnya.
Advertisement
Faktor Lainnya
Selain itu, faktor kebijakan dari dalam negeri juga ikut memengaruhi perlambatan konsumsi rumah tangga, di mana mana ekpsansi fiskal tidak sebesar saat masa pemulihan ekonomi nasional (PEN) pasca pandemi.
“Kemudian, kebijakan moneter yang meski tidak terlalu ketat, namun tingkat suku bunga yang tinggi memengaruhi penyaluran kredit ke sektor riil. Yang mana ini juga berpengaruh terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi RI,” tambah Ibrahim.