Sukses

Harga Nikel Terus Merosot, Menko Luhut Tak Ingin Indonesia Dituduh Jadi Biang Kerok

Tren harga nikel harus dilihat secara jangka panjang untuk 10 tahun ke depan. Ia lantas mewajari harga komoditas yang selalu up and down.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tidak terima Indonesia jadi kambing hitam akibat harga nikel yang terus merosot. Pasalnya, sejumlah pihak menuding anjloknya harga nikel disebabkan meningkatnya pasokan dari Indonesia.

Adapun harga nikel di London Metal Exchange (LME) untuk kontrak 3 bulan pada Selasa (6/2/2024) turun 1,2 persen ke angka USD 15.880 per ton dari hari sebelumnya di level USD 16.075 per ton.

Luhut menegaskan, tren harga nikel harus dilihat secara jangka panjang untuk 10 tahun ke depan. Ia lantas mewajari harga komoditas yang selalu up and down.

"Itu kan at the end cari equilibrum-nya. Apa saja commodity itu, kamu lihatnya enggak boleh setahun dua tahun, lihatnya 5-10 tahun. Nanti kamu lihat fluktuatif harganya. Oleh karena itu orang tentukan lihat harga rata-rata dalam 10 tahun," ujarnya di Kantor Marves, Jakarta, dikutip Kamis (8/2/2024).

Lebih lanjut, Luhut juga menyangkal tudingan Bank Dunia yang mengklaim Indonesia terlalu bersemangat memproduksi nikel, sehingga harganya jatuh.

 

"Enggak, enggak juga. Enggak betul itu. Kita enggak pernah jor-joran, enggak pernah," tegas Luhut.

 

Jatuhnya harga nikel disinyalir membuat penambang global menyetop operasinya. Sejumlah perusahaan top dunia telah menutup kegiatan tambang nikel miliknya, semisal BHP Group, Panoramic Resources Ltd, hingga Wyloo Metals Pty Ltd.

Namun, Luhut tampak tidak mempermasalahkannya. "Ya biarin aja kalau dunia memang tutup, asal kita tidak tutup," pungkas Luhut Binsar Pandjaitan.

 

2 dari 3 halaman

Industri Nikel Diramal Tak Akan Seret, Pemerintah Tak Perlu Pusing

Sebelumnya, Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meyakini nikel selaku kekayaan alam Indonesia bakal tetap dibutuhkan dunia, termasuk untuk industri baterai kendaraan listrik. Meskipun lithium ferrophosphate (LFP) saat ini disinyalir bakal menyalip nikel sebagai bahan baku utama baterai EV.

Bahkan, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2005-2009 ini menilai pemerintah tidak perlu terlalu mengatur nikel sebagai bahan baku wajib produksi baterai kendaraan listrik. Seperti dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023, yang tidak mewajibkan pemakaian nikel untuk ekosistem industri kendaraan listrik di Tanah Air.

"Enggak perlu. Jadi kalau dipaksa, orang enggak mau. Biar aja. Nikel ini barang pusaka, dibutuhkan buat macam-macam. Udah enggak perlu (terlalu diatur), enggak apa-apa. Hukum alam aja berjalan, jadi jangan takut, biar aja," ujar Lutfi selepas acara bersama Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) di Jakarta, Senin (29/1/2024).

3 dari 3 halaman

Masih Banyak Pengguna

Pasalnya, Lutfi menyebut perlombaan antara nikel dan LFP bagi industri kendaraan listrik belum mencapai garis finish. Sebagai perbandingan, ia menyebut pemakaian baterai EV berbasis nickel manganese cobalt oxide (NMC) masih dominan di Amerika Serikat.

"Jadi kalau kita lihat, CATL itu salah satu perusahaan baterai dan mobil listrik terbesar dunia. Mereka baru invest, hampir USD 10 miliar di Indonesia. Jadi teknologi ini akan tetap terus bersaing," kata Lutfi.