Sukses

Penghapusan Skema Jual-Beli Listrik dari PLTS Atap Jadi Win-Win Solution

Revisi aturan terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai sebagai kebijakan yang win-win solution bagi anggaran negara dan masyarakat.

 

Liputan6.com, Jakarta Revisi aturan terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai sebagai kebijakan yang win-win solution bagi anggaran negara dan masyarakat.

“Ini menjadi win-win solution untuk semuanya. Negara tidak terbebani, dan masyarakat yang ingin membangkitkan listrik bersumber dari energi baru terbarukan, bisa tetap memasang PLTS Atap,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dikutip Sabtu (10/2/2024).

Dirinya juga menyatakan bahwa langkah tersebut sangat realistis bagi sistem ketenagalistrikan tanah air.

“Keputusan pemerintah soal PLTS Atap menjadi kebijakan yang realistis mengingat kondisi empirik sektor ketenagalistrikan saat ini,” kata Tulus kepada media.

Diketahui dalam aturan sebelumnya, pemilik PLTS Atap dapat menjual kelebihan pasokan listrik yang dihasilkan. Melalui aturan revisi ini, skema itu tidak ada sebab aturan ekspor-impor listrik ditiadakan.

“Memang aspek jual beli energi (ekspor impor) di PLTS Atap menjadi klausul yang diharapkan, bagi pelaku usaha PLTS Atap dan juga konsumen. Namun kebijakan itu tidak sangat dekat dengan situasi saat ini.”

Namun demikian, paparnya, kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap baiknya disesuaikan dengan kebutuhan dari konsumen itu sendiri.

Dengan adanya revisi pada Permen ESDM No. 26/2021, paparnya, langkah ini dianggap sebagai titik awal yang tepat untuk melindungi kepentingan negara dalam menjaga kedaulatan energi.

Kekurangan Listrik

Menurutnya, penggunaan PLTS Atap lebih sesuai diterapkan pada daerah-daerah yang masih kekurangan listrik. “Saya sarankan, masifikasi PLTS Atap bisa dilakukan di area yang saat ini non-oversupply.”

Selain mengenai revisi Peraturan PLTS Atap, Tulus juga memiliki perhatian pada skema power wheeling yang diwacanakan untuk masuk ke dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

Menurutnya, penerapan skema ini juga dapat menjadi beban baik bagi masyarakat maupun pemerintah jika dijalankan. “Terutama untuk penentuan tarif listrik. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan mengenai keandalan pasokan listrik bagi konsumen dari pembangkit EBT yang memiliki sifat intermiten.”

2 dari 4 halaman

Transisi ke EBT, Tarif Listrik Bakal Makin Mahal?

Pemerintah menjanjikan tarif listrik tetap terjangkau oleh masyarakat di tengah percepatan transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Selain tarif murah, pemerintah juga menjamin keandalan pasokan listrik untuk menunjang aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

"Harus kita hitung, gitu ya supaya cermat, terukur bagaimana transisi energi ini tercapai, dengan catatan kelistrikan tetap andal itu yang paling utama. Dan harga listrik tetap terjangkau meskipun transisi energi kita lanjutkan," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, dalam acara Peresmian Indonesia Energy Transition Implementation Joint Office di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024).

Jisman menyampaikan bahwa percepatan transisi energi fosil ke EBT diperlukan untuk mewujudkan target emisi karbon netral atau net zero emission pada 2060 mendatang. Bahkan, bisa lebih cepat dari target tersebut.

"Khusus ketenagalistrikan nasional mungkin teman-teman sudah mengetahui bahwa di 2060 kita harus menuju net zero emission ya, atau lebih cepat," ujar Jisman.

Jisman bilang, pemerintah sudah menyiapkan berbagai cara untuk mewujudkan emisi karbon netral pada 2060 mendatang. Antara lain dengan membangun pembangkit-pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan untuk menggantikan Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara secara bertahap.

Keandalan Listrik

Selain itu, pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi atas penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik saat ini. Hal ini bertujuan untuk menjamin keandalan pasokan listrik di Indonesia.

"Nanti kita sudah siapkan langkah-langkah yang akan kita lakukan di sektor ketenagalistrikan yang terutama nanti seperti apa yang eksisting mungkin ada banyak pertanyaan nih ya, PLTU seperti apa, apa yang ada kemudian yang baru seperti apa," pungkas Jisman.

 

3 dari 4 halaman

Pengembangan PLTU

Pemerintah Jokowi secara resmi melarang pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 September 2022.

Dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat 1 Perpres, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.

Selanjutnya, pada pasal yang sama ayat 2 dijelaskan, penyusunan peta jalan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.

"Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat (a) pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, (b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan (c) keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya," tulus keterangan pasal 3 ayat 3.

Kemudian, di ayat berikutnya dijelaskan kalau pengembangan PLTU diperbolehkan, tapi harus memenuhi tiga hal sebagaimana yang tertulis dalam ayat 4, yaitu pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk (a) PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

4 dari 4 halaman

Bauran EBT Masih Rendah, Menteri ESDM Mau Kebut Lewat Cara Ini

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bauran energi baru terbarukan (EBT) masih rendah dari target. Saat ini, baru ada sebesar 13,1 persen, sementara ada target bauran EBT 23 persen di 2025 mendatang.

Arifin mengatakan, besaran EBT ini tercatat mengalami peningkatan. Hanya saja, angkanya belum menunjukkan sesuatu yang signifikan.

"Kita melihat bahwa peningkatan ada tapi belum signifikan. Sehingga perlu upaya-upaya keras untuk bisa mendekati target capaian di 2025. Di 2025 itu, kita targetkan 23 persen bauran, tetapi saat ini kita masih pada level 13,1 persen," ujarnya dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Selasa (16/1/2024).

Guna mengejar target tadi, Arifin setidaknya menyusun 8 strategi yang akan memperkuat bauran EBT RI. Pertama, pelaksanaan pembangunan EBT sesuai Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Targetnya ada tambahan kapasitas sebesar 10,6 gigawatt (GW) hingga 2025.

Kedua, penerapan program Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Utamanya mendorong pemasangan panel surya di atap bangunan yang harapannya mempercepat kapasitas EBT. Meski begitu, pemasangannya harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat dan PLN.

"Kemudian, (ketiga) kita juga melakukan program konversi, pembangkit diesel ke EBT dan juga (keempat) program mandatory B35 yang targetnya pada 2025 ini sebesar 13,9 juta kilo liter (KL)," ungkap Arifin.

Kelima, menggalakkan program co-firing. Tujuannya meningkatkan penggunaan campuran biomassa dalam pembangkit listrik. Harapannya, bisa mengurangi kandungan emisi yang dihasilkan.