Liputan6.com, Jakarta Puncak Pemilu 2024 tinggal satu hari lagi. Pemungutan suara di dalam negeri akan diselenggarakan serentak pada 14 Februari 2024. Tak jarang, mendekati hari H pencoblosan, sering ada 'Serangan Fajar'.
Serangan fajar yang dimaksud adalah adanya sejumlah pihak yang mempraktekkan politik uang. Dimana sejumlah warga diberi uang atau sembako dengan tujuan untuk memilih salah satu peserta pemilu.
Lantas, bagaimana hukum dalam Islam mengenai serangan fajar jelang Pemilu 2024 ini? Dikutip dari kanal Islami Liputan6.com, Senin (12/2/2024), Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Tangerang Selatan, KH. Ahmad Misbah, M.Ag. menjelaskan, serangan fajar yang dipahami memberi uang untuk pelancar dan pendorong memilih calon tertentu termasuk suap atau rusuah.
Advertisement
“Apapun bentuknya sogok itu haram dan terlarang, karena pasti akan ada yang dirugikan atau rugi sama-sama,” kata Kiai Misbah kepada Liputan6.com.
“Oleh karena itu sebisa mungkin dihindari. Kata nabi, ‘Arrasi wal Murtasyi fim Naar’. Orang yang menyogok dan yang disogok sama-sama masuk neraka,” lanjutnya.
Boleh Disuap, Asal...
Namun, menurutnya, jika dalam kondisi yang penting dan genting, dalam arti ada pilihan Islam dan kafir/zalim, maka orang Islam yang baik boleh menyuap dan disuap dengan tujuan agar calon pemimpin zalim/kafir itu tidak menduduki sebagai pimpinan.
“Dengan kata lain, agar orang yang Islam-nya baik itu menang dalam kancah politiknya. Namun harus dipahami bahwa kondisi ini adalah kondisi darurat. Adh-dhorurotu tubiihul mahdhuuroot,” jelasnya.
Menurut Kiai Misbah, apabila ada timses memberi uang terima saja dengan ikhlas. Ia berdalih, jika orang baik yang menerima maka akan dibuat untuk kemanfaatan.
“Tetapi, jika kita tidak menerima sementara justru diterima oleh orang yang jahat atau pendosa maka sangat mungkin uang itu bisa untuk dana kejahatan atau dana perilaku dosa seperti mabuk-mabukan dan lain-lain. Jadi, terima saja uangnya kalau dikasih, asal jangan minta-minta,” tuturnya.
Menerima tapi Tidak Memilih
Menurut Ketua LDNU Tangerang Selatan ini, orang yang menerima uang tapi tidak memilihnya terindikasi munafik dan zalim. Oleh karenanya, kata dia, slogan “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya” harus dinetralkan agar tidak berkembang dan menjalar ke berbagai tatanan masyarakat.
“Karena pasti ujung-ujungnya akan ada yang dirugikan dan dizalimi, Allah benci kepada orang yang zalim,” katanya.
Terlanjur menerima uang, bagaimana?
“Seandainya terlanjur menerima uang yang sudah jelas suap maka sebaiknya uang itu tetap dimanfaatkan untuk sendiri jika memang sangat dibutuhkan, misalnya untuk beli beras buat makan,” kata Kiai Misbah.
“Namun, jika masih bisa hidup layak ya baiknya sampaikan ke lembaga sosial atau keagamaan agar lebih manfaat Wallahu a'lam bis showab,” pungkasnya.
Advertisement
Bukan Soal Ikhlas atau Tulus
Terkait serangan fajar atau pemberian uang untuk mendukung calon tertentu pernah dibahas oleh KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya. Persoalan hukum politik ini dibahas Buya Yahya ketika mendapat pertanyaan dari jemaahnya.
Buya Yahya menuturkan, seorang muslim memiliki kewibawaan yang tidak bisa dibeli apapun. Muslim tidak boleh menukar akhlaknya, agamanya, dan imannya yang secara khusus untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Tidak boleh ditukar akhlak kita, agama kita, iman kita. Maka ini perlu pembiasaan. Jangan dikit-dikit main imbalan, main pemberian,” kata Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Sabtu (10/2/2024).
Buya Yahya tak menampik jika ada timses caleg atau capres yang memberinya secara tulus dan ikhlas. Namun, menurut Buya Yahya, persoalan dalam politik uang bukan tulus atau tidak.
“Walaupun seandainya pemberiannya itu ikhlas, tulus, permasalahannya bukan itu. Hati kita itu cenderung kepada dunia kuat sekali, sehingga menjadi kita itu tidak enakan karena merasa kita sudah menerima. Padahal dia tidak pantas untuk kita pilih lalu kita pilih. Maka lebih baik urusan hadiah jangan dihubungkan dengan pemilihan,” imbuh Pengasuh LPD Al Bahjah ini.