Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgiva memperingatkan bahwa perekonomian Rusia masih menghadapi hambatan yang signifikan,meskipun lembaga itu memperkirakan akan ada peningkatan pertumbuhan.
Melansir CNBC International, Selasa (13/2/2024) IMF pada akhir Januari 2024 menaikkan perkiraan laju pertumbuhan ekonomi Rusia lebih dari dua kali lipat pada tahun ini, menaikkannya dari 1,1 persen pada bulan Oktober menjadi 2,6 persen.
Baca Juga
Meskipun demikian, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva melihat lebih banyak masalah yang akan terjadi di negara berpenduduk sekitar 145 juta jiwa tersebut.
Advertisement
Dalam sebuah wawancara di sela-sela World Governments Summit di Dubai, Georgieva menjelaskan apa yang ia yakini mendorong penurunan kinerja ekonomi Rusia dan mengapa angka perkiraan tidak mewakili ekonomi negara itu secara keseluruhan.
Georgiva merujuk pada perngeluaran pertahanan Rusia yang meroket sejak perang pecahnya perang dengan Ukraina.
November lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyetujui anggaran negara yang meningkatkan belanja militer menjadi sekitar 30 persen dari belanja fiskal, atau peningkatan hampir 70 persen dari tahun 2023 hingga 2024.
Namun, pada saat yang sama, lebih dari 800.000 orang telah meninggalkan Rusia, menurut perkiraan para akademisi di pengasingan yang dikumpulkan pada Oktober 2024 lalu
Banyak di antara mereka yang melarikan diri adalah pekerja berketerampilan tinggi di bidang IT dan sains.
"Saya benar-benar berpikir bahwa perekonomian Rusia berada dalam masa-masa sulit karena arus keluar orang, dan karena berkurangnya akses terhadap teknologi akibat sanksi tersebut," kata Georgieva.
"Jadi meskipun angka ini tampak seperti angka yang bagus, ada cerita yang lebih besar di baliknya, dan ini bukanlah cerita yang bagus," imbuh bos IMF itu.
IMF Proyeksi Ekonomi Global Cuma Tumbuh 3,1% di 2024
International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memproyeksikan perekonomian global tumbuh 3,1% di 2024. Proyeksi ini dirilis IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru edisi Januari 2024.
"Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan sebesar 3,1%pada 2024 dan 3,2 persen pada% pada 2025, dengan perkiraan tahun 2024 0,2 poin persentase lebih tinggi dibandingkan perkiraan pada Oktober 2023," ungkap IMF di laporan World Economic Outlook, dikutip Rabu (31/1/2024).
Dalam laporan itu ditulis bahwa proyeksi ekonomi global kali ini didukung oleh ketahanan ekonomi yang lebih besar di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain, serta pasar negara berkembang yang besar. Selain itu juga didukung kebijakan fiskal Tiongkok.
Namun IMF mencatat, perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2024–2025 masih di bawah rata-rata historis (2000–2019) sebesar 3,8 persen, dengan kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral untuk melawan inflasi, penarikan dukungan fiskal di tengah tingginya utang yang membebani aktivitas perekonomian, dan rendahnya produktivitas.
Tetapi inflasi turun lebih cepat dari perkiraan di sebagian besar negara-wilayah, di tengah melemahnya permasalahan sisi penawaran dan kebijakan moneter yang restriktif.
"Inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 5,8 persen pada tahun 2024 dan menjadi 4,4 persen pada tahun 2025, dengan perkiraan tahun 2025 direvisi turun," beber IMF.
Advertisement
Hard Landing
Dengan disinflasi dan pertumbuhan yang stabil, IMF memperkirakan, kemungkinan terjadinya hard landing telah berkurang. Adapun risiko terhadap pertumbuhan global secara umum juga sudah seimbang.
'Sisi positifnya, disinflasi yang lebih cepat dapat menyebabkan kondisi keuangan semakin melemah. Kebijakan fiskal yang lebih longgar dari yang diperlukan dan dari perkiraan dalam proyeksi dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk sementara waktu, namun dengan risiko penyesuaian yang lebih mahal di kemudian hari," pungkas IMF.
Badan itu juga mengatakan, reformasi struktural yang kuat dapat meningkatkan produktivitas dengan dampak positif lintas batas negara.
Sedangkan pada sisi negatif, lonjakan harga komoditas baru akibat guncangan geopolitik, termasuk serangan Houthi di Laut Merah dan gangguan pasokan atau inflasi yang lebih persisten dapat memperpanjang kondisi moneter yang ketat.