Sukses

MenkopUKM Jamin Tak Ada Praktik Predatory Pricing di E-commerce

MenkopUKM Teten Masduki meyakini dengan menertibkan praktik jual rugi atau predatory pricing menjadi langkah nyata untuk melindungi produk UMKM lokal Tanah Air.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki buka suara soal perkembangan rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

MenkopUKM telah mengusulkan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian agar ketentuan praktik jual rugi atau predatory pricing masuk dalam revisi Permendag tersebut. Namun, hingga kini belum ada pembahasan lanjutan mengenai rencana revisi aturan Permendag 31 tahun 2023.

"Revisi Permendag terkait dengan usulan kami supaya tidak ada predatory pricing di marketplace dengan usulan HPP itu belum ada pembahasan lagi di Menko ekonomi, tapi kita sudah bahas dengan Kementerian ekonomi harusnya sudah dilakukan rapat koordinasinya lagi. Kemarin saya sudah bicara dengan pak sesmenko agar segera dilakukan rapat gabungan kembali," kata Teten saat ditemui di kantor KemenkopUKM, Jakarta (19/2/2024).

Teten meyakini dengan menertibkan praktik jual rugi atau predatory pricing menjadi langkah nyata untuk melindungi produk UMKM lokal Tanah Air. Harapannya, ini juga akan meningkatkan daya saing produk UMKM.

"Salah satu yang kita usulkan di Permendag itu belum mengatur soal predatory pricing. Kalau kita lihat belajar dari pengalaman China soal larangan tidak boleh menjual dibawah HPP (Harga Pokok Penjualan)," ujarnya.

Pentingnya HPP

Menurut Teten, pentingnya pengaturan HPP di e-commerce. Sebab, jika tidak ada pembatasan HPP maka UMKM bisa terpukul, lantaran dibanjiri oleh produk luar yang dibanderol dengan harga murah.

"HPP itu implikasinya dua, kalau tidak dilakukan tidak ada pembatasan HPP maka UMKM terpukul, kalau misalnya produk luar masuk ke Indonesia dijual di bawah harga HPP produk dalam negeri pasti lumpuh industri dalam negeri," pungkasnya.

2 dari 2 halaman

Knalpot Brong Kerap Dirazia Polisi, Produsen Curhat ke Menteri Teten

Ketua Asosiasi Knalpot Seluruh Indonesia (AKSI) Asep Hendro, menyampaikan keluhan dan curahan hati (curhat) atas keresahan mereka karena kerap dituduh memproduksi knalpot yang menimbulkan kebisingan yang sering terjaring razia aparat kepolisian.

“Kami berharap standardisasi atau Standar Nasional Indonesia (SNI) dan regulasi terkait knalpot segera diterbitkan untuk mendukung industri knalpot lokal dan UMKM semakin berkembang,” kata Ketua AKSI Asep Hendro saat beraudiensi dengan MenKopUKM, di Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Menurutnya, jika SNI knalpot telah terbit AKSI menyatakan siap memenuhi standardisasi dan regulasi yang menjamin produk knalpot memenuhi SNI sehingga produk knalpot lokal semakin berdaya saing dengan ambang batas kebisingan yang aman dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Asep Hendro beserta pewakilan anggota AKSI lainnya menemui Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) untuk melakukan audiensi dan mengeluhkan terkait produk knalpot mereka yang kerap diasosiasikan dengan knalpot brong yang banyak dipermasalahkan belakangan ini.

Ia menjelaskan produk knalpot lokal atau aftermatket banyak dikesankan sebagai knalpot brong yang tidak standar dan menyebabkan polusi suara.

"Knalpot yang hanya memakai hider tanpa silencer, itu yang disebut brong yang sering memekakan telinga,” ujar Asep.

Diketahui, pengendara kendaraan bermotor yang menggunakan knalpot brong tidak sesuai standar SNI dapat dikenai sanksi sesuai Pasal 285 jo ayat (1) jo Pasal 106 ayat (3) dan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), dengan denda maksimal Rp 250 ribu karena kebisingan suaranya dapat mengganggu konsentrasi pengendara lainnya sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas.

Sayangnya, Asep menjelaskan razia yang digelar untuk menertibkan penggunaan knalpot brong belakangan ini justru berdampak kepada UMKM produsen knalpot. "Kami punya 20 brand serta 15 ribu karyawan yang saat ini sudah dirumahkan,” kata Asep.

Hal itu disebabkan ada kesan yang ditimbulkan bahwa knalpot produksi mereka merupakan knalpot brong, karena tidak sesuai standar yang diberlakukan pemerintah.