Sukses

Ringgit Malaysia Anjlok ke Level Terendah Sejak Krisis Ekonomi Asia 1998

Ringgit Malaysia turun hampir 0,3 persen menjadi hampir 4,8 terhadap greenback pada perdagangan Selasa (20/2).

Liputan6.com, Jakarta Tak hanya Rupiah, mata uang negara tetangga, Ringgit Malaysia juga mengalami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir.

Rupiah ditutup melemah 29 point dalam penutupan pasar pada Selasa (20/2), walaupun sebelumnya sempat melemah 35 point dilevel Rp. 15.660 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.631.

Sementara Ringgit Malaysia mengalami penurunan ke level terendah sejak krisis keuangan Asia pada Selasa (20/2).

Melansir Channel News Asia, Rabu (21/2/2024) nilai Ringgit Malaysia turun hampir 0,3 persen menjadi hampir 4,8 terhadap greenback pada perdagangan hari Selasa (20/2), angka terburuk sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998.

Dilaporkan, Ringgit telah mengalami penurunan lebih dari 4 persen di awal tahun ini, sebagian disebabkan oleh kinerja ekspor yang buruk dan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve.

Gubernur bank sentral Malaysia, Datuk Abdul Rasheed Ghaffour mengatakan bahwa kinerja mata uang tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti kenaikan suku bunga AS, kekhawatiran geopolitik dan ketidakpastian mengenai prospek ekonomi China.

“Tingkat Ringgit saat ini tidak mencerminkan prospek positif perekonomian Malaysia ke depan,” kata Datuk Abdul Rasheed Ghaffour dalam sebuah pernyataan.

Namun dia masih optimis, pertumbuhan perdagangan global dan ekspor Malaysia akan berdampak positif pada mata uang tahun ini.

Sebelumnya, Ringgit telah mencapai titik terendah sejak krisis keuangan Asia pada tahun 2016, ketika mata uang negara-negara berkembang terpukul oleh pelarian modal yang dipicu oleh perkiraan kenaikan suku bunga AS.

2 dari 3 halaman

USD Lanjut Menguat Hari Ini, Rupiah Loyo ke 15.650 per Dolar AS

Dolar Amerika Serikat atau USD melanjutkan penguatan pada Selasa, 20 Februari 2024. Saat ini, para pedagang mulai memperhitungkan kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga lebih awal, setelah serangkaian data inflasi AS yang lebih tinggi dari perkiraan pada Januari 2024.

Namun, beberapa pejabat The Fed memperingatkan agar tidak bertaruh pada penurunan suku bunga lebih awal.

"Risalah pertemuan terakhir The Fed, yang dijadwalkan pada hari Rabu, kemungkinan akan menjadi rilis utama bagi investor minggu ini," kata Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, dalam paparan tertulis dikutip Selasa (20/2/2024).

"Investor memperkirakan penurunan suku bunga The Fed sekitar 90 basis poin tahun ini, menurut perkiraan pasar uang, turun tajam dari sekitar 145 basis poin pada awal Februari," lanjutnya.

Sementara itu, di negara ekonomi terbesar Asia, Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) memangkas suku bunga acuan pinjaman lima tahun sebesar 25 basis poinc lebih besar dari perkiraan menjadi 3,95 persen.

Pemangkasan ini seiring dengan langkah bank tersebut untuk lebih melonggarkan kondisi moneter dan menopang pemulihan ekonomi.

"Namun para investor meragukan apakah langkah tersebut akan secara signifikan membantu perekonomian Tiongkok, mengingat suku bunga Tiongkok telah berada pada rekor terendah selama hampir dua tahun," ungkap Ibrahim.

Selain kekhawatiran terjadinya pelemahan pada ekonomi China, Inggris dan Jepang juga memasuki resesi pada akhir 2023 yang meningkatkan kekhawatiran atas melambatnya pertumbuhan ekonomi global.

Rupiah Kembali Melemah pada Selasa, 20 Februari 2024

Rupiah ditutup melemah 29 point dalam penutupan pasar sore ini, walaupun sebelumnya sempat melemah 35 point dilevel Rp. 15.660 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.631.

"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp. 15.650 - Rp.15.720," demikian perkiraan Ibrahim.

3 dari 3 halaman

Volatilitas Rupiah Menurun di Awal 2024

Seperti diketahui, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi di awal tahun, namun memasuki Februari 2024 volatilitas nilai tukar juga sudah mulai menurun.

"Di sepanjang tahun 2024, Rupiah diperkirakan bakal menunjukkan stabilitas nilai tukar yang condong menguat, didukung oleh meredanya ketidakpastian global, kecenderungan penurunan imbal hasil (yield) obligasi negara maju, serta penurunan tekanan penguatan dolar AS," kata Ibrahim.