Liputan6.com, Jakarta Badan Pangan Nasional (Bapanas) memastikan ketersediaan beras di Indonesia terjaga. Salah satu strategi yang dilakukan Bapanas adalah berkolaborasi dengan Bulog menyalurkan Beras Stabilisasi Pasokan Harga Pasar (SPHP).
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan I Gusti Ketut Astawa, mengatakan saat ini Pemerintah telah menyalurkan beras SPHP ke ritel modern untuk menggantikan beras premium yang langka.
Baca Juga
Selain ke ritel modern, Pemerintah juga menyalurkan beras SPHP ke pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia. Tujuannya agar kebutuhan beras bagi masyarakat dapat terpenuhi.
Advertisement
"Kita juga melakukan SPHP di pasar-pasar tradisional. Kalau di lapangan di pasar tradisional beras itu banyak tidak ada kurang beras," kata Ketut Astawa kepada Liputan6.com, Kamis (22/2/2024).
Lebih lanjut, Ketut mengungkapkan, faktor penyebab harga beras mahal dipengaruhi oleh sisi hulu. Yakni, terjadi kenaikan ongkos tenaga kerja petani, ongkos sewa lahan meningkat, dan harga pupuk juga naik.
"Harga beras tinggi, kalau kita melihat di hulu terjadi berbagai kenaikan yang pertama yang paling mendasar adalah tenaga kerja naik. Jadi, ongkos tenaga kerja petani itu naik, kemudian ongkos atau sewa lahan juga sudah naik beberapa titik, pupuk juga naik," ujarnya.
El Nino
Selain itu, ditambah adanya El Nino yakni gelombang panas yang menyebabkan masa tanam padi di Indonesia menjadi mundur. Kemudian, harga gabah kering panen (GKP) ditingkat petani juga meningkat, sehigga berpengaruh terhadap kenaikan harga beras di pasaran.
"Ditambah tadi produksi turun di hulu itu disebabkan oleh El Nino. El Nino sangat berpengaruh. Dengan kondisi ongkos tenaga kerja naik, sewa lahan naik otomatis sekarang ini harga GKP di petani gabah itu sudah Rp 7.500 per kg. Itu alasan mendasar beras naik," pungkasnya.
Beras Langka di Supermarket tapi Mahal di Pasar Tradisional, Apa Penyebabnya?
Sebelumnya, stok beras terpantau masih langka di sejumlah gerai ritel modern seperti supermarket. Bahkan, beberapa di antaranya tidak memiliki stok sama sekali. Di sisi lain, ketersediaan beras di pasar tradisional ada tetapi dengan harga yang terus naik.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, banyak penggilingan besar dan pengusaha ritel yang kini merugi dalam menjual beras. Lantaran, mereka terpentok oleh aturan harga eceran tertinggi (HET) kepada konsumen akhir. Seperti di Pulau Jawa, yakni Rp 10.900 untuk beras medium dan Rp 13.900 untuk beras premium.
"Sebetulnya kelangkaan itu hanya terjadi di ritel modern. Karena problem tadi itu, peritel tidak mau merugi. Mereka sudah berbulan-bulan enggak mau merugi, enggak kuat lagi," ujar Khudori kepada Liputan6.com, Kamis (22/2/2024).
"Selama ini mereka membeli dengan harga di bawah HET, Rp 13.900. Katakanlah kalau mereka ambil margin Rp 200, berarti Rp 13.700 (dapatnya). Tapi pedagang dan penggilingan sudah berbulan-bulan rugi, sudah enggak kuat," ungkapnya.
Kondisi berbeda justru terjadi di pasar tradisional, Khudori menambahkan. Stok beras di sana mencukupi, tetapi harga beras melambung lantaran pedagang di sana tidak mau mengikuti aturan HET.
"Tapi kalau Anda pergi ke pasar tradisional, beras-beras aneka merek yang tidak ditemukan, yang biasa ditemukan di pasar modern dan sekarang tidak ditemukan, itu ada, tapi harganya tinggi. Karena di pasar tradisional sejak HET diberlakukan September 2017, mereka enggak patuh terhadap HET itu," ucapnya.
Advertisement
Tak Setuju Kebijakan HET
Khudori lantas mengaku tidak setuju dengan kebijakan HET beras yang mulai digulirkan per 1 September 2017. Menurut dia, aturan itu cenderung berat sebelah lantaran pemerintah hanya berlaku pada sisi hilir, sementara di sisi hulu dibiarkan begitu saja.
"Sebetulnya HET itu enggak adil. Input produksi pertanian padi kan enggak pernah dipatok harganya, tenaga kerja, harga lahan, harga pupuk, pengairan, pestisida. Itu kan enggak dipatok, enggak ada HET-nya," tegas Khudori.
"Kalau input produksi itu naik, otomatis membuat harga gabah tinggi. Nah, kalau gabah sebagai input produksi gabah tidak ada HET-nya, tapi di hilir, di produk akhir ada HET-nya, itu enggak adil. Wong input produksinya tidak dibatasi harganya, tapi di hilir dibatasi harganya," tuturnya.
Survei BI: Harga Beras di Kalteng Nyaris Rp19.000 per Kg
Survei Pantauan Biaya Bank Indonesia (BI) mencatat, harga beras mengalami kenaikan di berbagai wilayah Indonesia. Adapun, kenaikan harga beras tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Tengah yang hampir mencapai Rp19.000 per kilogram (kg).
"Dari survei biaya pantauan biaya, itu memang kisarannya terlalu besar ya (kenaikan harga beras) Rp 12.947 kilogram, kalau di kalimantan tengah itu mencapai Rp18.800 per kilogram," kata Deputi Gubernur BI, Aida S Budiman dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta Pusat, Rabu (21/2).
Aida mengungkap, kenaikan harga beras tersebut dipengaruhi oleh El Nino yang berdampak pada mundurnya musim tanam padi. Akibatnya produksi beras di dalam negeri menjadi terganggu.
"Akibatnya tentunya ada pergeseran periode tanam beras," ungkapnya.
Untuk menekan kenaikan harga beras, pemerintah melakukan impor guna memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP). Saat ini, pasokan CBP mencapai 1,2 juta ton.
"Artinya kecukupan pasokan (CBP) itu ada," ujar dia menekankan.
Selain itu, pemerintah juga terus menyalurkan
program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Pangan (SPHP) yang berasal dari cadangan beras pemerintah (CBP). Penyaluran program beras milik Bulog ini bertujuan untuk mengendalikan laju inflasi.
"Kemudian juga menyalurkan bantuan beras tahap 1 kan Januari-Maret (2024) dilanjutkan nanti April hingga Juni (2024)," pungkas Aida.
Advertisement