Liputan6.com, Jakarta China menjadi salah satu negara dengan biaya membesarkan anak termahal di dunia. Hal itu diungkapkan dalam sebuah laporan yang dirilis oleh YuWa Population Research Institute, yang berbasis di China.
Melansir CNN Business, Jumat (23/2/2024) laporan YuWa Population Research Institute menemukan bahwa rata-rata biaya di China untuk membesarkan anak sejak lahir hingga usia 17 tahun, adalah sekitar USD 74,800 atau setara Rp 1,1 miliar.
Baca Juga
Biaya tersebut dapat naik menjadi lebih dari USD 94,500 atau Rp 1,4 miliar untuk membiayai seorang anak hingga mencapai gelar sarjana.
Advertisement
Laporan tersebut menyoroti, biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun di China kini setara 6,3 kali lebih tinggi dibandingkan PDB per kapita negara itu.
Adapun negara tetangga China di Asia Timur, yakni Korea Selatan, yang memiliki biaya paling besar untuk membesarkan anak yaitu 7,79 kali PDB per kapita.
Sebagai perbandingan, laporan tersebut menyatakan bahwa biaya di Australia hanya 2,08 kali PDB per kapita, 2,24 kali di Perancis, 4,11 kali di Amerika Serikat, dan 4,26 kali di Jepang.
"Karena alasan-alasan seperti tingginya biaya melahirkan anak dan kesulitan bagi perempuan untuk menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, keinginan masyarakat China untuk memiliki anak hampir menjadi yang terendah di dunia," kata YuWa Population Research Institute dalam laporannya.
"Tidaklah berlebihan untuk menggambarkan situasi populasi saat ini sebagai penurunan jumlah kelahiran," sebut laporan itu.
Populasi China sendiri telah menyusut selama dua tahun terakhir, dengan tahun 2023 menandai angka kelahiran terendah sejak berdirinya Partai Komunis China pada tahun 1949.
Di tahun lalu juga, China dilampaui oleh India sebagai negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia.
Pertimbangan yang Berat bagi Perempuan di China
Krisis demografi memberikan dampak yang signifikan bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu, dan semakin parah dalam beberapa tahun terakhir meskipun pihak berwenang berupaya membalikkan tren tersebut setelah beberapa dekade menerapkan kebijakan pembatasan kelahiran.
Meskipun pemerintah China telah melonggarkan batasan jumlah anak per pasangan, peluncuran kampanye nasional yang mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak anak, dan menawarkan kemudahan finansial, hanya menghasilkam sedikit perubahan, sebagian karena bagi banyak perempuan, pengorbanan yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang telah mereka terima, menurut laporan YuWa.
Laporan YuWa menyebut, perempuan yang mengambil cuti melahirkan mungkin menghadapi perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dipindahkan ke tim lain, dipotong gajinya, atau kehilangan peluang promosi.
Laporan tersebut menambahkan bahwa jika biaya cuti melahirkan sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan tanpa bantuan pemerintah, maka pemberi kerja mungkin akan menghindari perekrutan perempuan dalam usia subur – sesuatu yang sudah banyak terlihat di China, dengan adanya laporan bahwa perempuan ditanyai tentang keluarga berencana saat wawancara kerja, atau dilewatkan untuk peran meskipun mereka tidak berencana untuk memiliki anak.
Advertisement
Ibu-ibu Sulit Mendapat Pekerjaan
Meskipun beberapa perempuan berhenti bekerja sambil membesarkan anak-anak mereka, hal ini membuat kembali bekerja menjadi sangat sulit.
Perempuan yang memiliki anak di China mungkin mengalami penurunan gaji sebesar 12 persen hingga 17 persen, kata laporan tersebut, mengutip penelitian dari berbagai makalah.
Kabar baiknya, perempuan di China kini lebih berpendidikan dan mandiri secara ekonomi, dan kini jumlah perempuan yang mengikuti program pendidikan tinggi melebihi laki-laki.
Dengan begitu banyak kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir, di kana perempuan semakin memprioritaskan karir dan pengembangan diri mereka dibandingkan hal-hal tradisional seperti pernikahan dan melahirkan, kata para ahli sebelumnya.
Lingkungan Tak Kondusif
Laporan Studi YuWa juha menunjukkan bahwa perempuan di China, terutama bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, bersih-bersih, dan berbelanja, serta mengurus anak, termasuk mengurus sekolah, membantu pekerjaan rumah, dan memberikan bimbingan belajar.
Mengutip makalah tahun 2018, laporan tersebut mengatakan bahwa hal ini berarti perempuan kehilangan hampir lima jam setiap hari waktu luang dan waktu kerja berbayar, dan hampir seluruh jam tersebut dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga.
Meskipun para ayah juga kehilangan waktu luang, jam kerja berbayar mereka tidak berubah secara signifikan, dan karier mereka tidak terpengaruh secara signifikan, menurut laporan YuWa.
"Karena lingkungan sosial di China saat ini tidak kondusif bagi perempuan untuk melahirkan, biaya waktu dan peluang bagi perempuan untuk memiliki anak terlalu tinggi," kata laporan tersebut.
"Beberapa perempuan harus berhenti memiliki anak demi mendapatkan kesempatan sukses dalam karier mereka," ungkap YuWa.
Tantangan bagi Perekonomian Terbesar Kedua di Dunia
Laporan YuWa memperingatkan bahwa penurunan angka kelahiran dapat berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan posisi China di dunia.
Pada kuartal terakhir 2023, ekonomi China tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun 2023, sedikit lebih baik dari target resmi yang ditetapkan Beijing.
Namun negara ini menghadapi banyak sekali tantangan, termasuk rekor penurunan properti, melonjaknya pengangguran di antara generasi muda, tekanan deflasi, meningkatnya gagal bayar perusahaan, dan meningkatnya tekanan keuangan pada pemerintah daerah.
Advertisement