Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produk Crude Palm Oil (CPO) atau Minyak Sawit Mentah dan Palm Kernel Oil (PKO) atau Minyak Inti Sawit turun sebesar 2,38 persen menjadi 32,21 juta ton pada 2023, dibandingkan 2022 sebesar 33,15 juta ton.
"Sementara itu ekspor biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Untuk produksi bulanan, pada 2023 relatif stabil berkisar antara 4,2 juta ton sampai 5 juta ton. Sedangkan, ekspor bulanan berkisar antara 2,1 juta ton sampai 3,6 juta ton, yang tergantung pada isu dan kondisi di negara importir seperti stok, harga minyak sawit, dan minyak nabati lainnya, serta tergantung pada situasi ekonomi negara tujuan.
Advertisement
Berdasarkan catatan Gapki, penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan EU yakni sebesar 11,6 persen dari 4,13 juta ton pada 2022 menjadi 3,70 juta ton pada 2023.
Sebaliknya ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33 persen dari 3.183 ribu ton menjadi 4.232 ribu ton, China naik 23% dari 6,280 ribu ton menjadi 7.736 ribu ton, India naik 8 persen dari 5.536 ribu ton menjadi 5.966 ribu ton dan USA naik 10 persen dari 2.276 ribu ton menjadi 2.512 ribu ton.
Turunnya harga rata-rata kelapa sawit selama tahun 2023 dibanding 2022 di pasar Ciff Rotterdam sebesar 28,7 persen, di mana rata-rata harga tahun 2023 adalah USD 964/ton atau jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan rata-rata USD 1.352/ton, menyebabkan penurunan nilai ekspor kelapa sawit Indonesia yang cukup signifikan dari USD 39,07 miliar pada 2022 menjadi USD 30,32 miliar pada 2023.
"Dengan stok awal tahun 2023 sebesar 3,69 juta ton, stok akhir produk CPO dan PKO Indonesia tahun 2023 diperkirakan mencapai 3,14 juta ton," pungkasnya.
Prediksi Produksi
Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan produksi dan produktivitas industri sawit relatif stagnan dan cenderung turun pada 2024.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, mengatakan proyeksi tersebut dipengaruhi oleh konsumsi dalam negeri yang terus meningkat (pangan, biodiesel, oleochemical), volume ekspor cenderung menurun, dan realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sangat rendah, serta dihadapkan dengan sejumlah tantangan.
Adapun tantangan yang dihadapi industri sawit tahun 2024, di antaranya, pertama, masih adanya kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit baik dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk dalam negeri, kampanye negatifnya berupa adanya buku-buku pendidikan yang negatif terhadap sawit, dan juga di media sosial banyak informasi yang bernuansa negatif. Sementara kampanye negatif luar negeri, yakni diskriminasi sawit melalui EU Deforestasi.
"Kampanye negatif masih terus berlanjut, sawit merambah hutan, luar negeri EU juga terus berubah. Ini kita terus hadapai kita bersama Pemerintah kita tidak sendiri untuk menghadapi kampanye-kampanye ini," kata Eddy dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Advertisement
Tantangan Kedua
Tantangan kedua, yaitu tidak jelasnya kepastian hukum dan kepastian berusaha. Seperti banyaknya peraturan dan instansi yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Gapki mencatat lebih dari 31 Kementerian dan Lembaga yang mengatur dan terkait dengan industri kelapa sawit, sehingga menyebabkan tumpang tindih peraturan.Kemudian, kebijakan di dalam negeri yang mudah berubah.
"Lebih dari 31 Kementerian Lembaga yang membingungkan kita. Kepastian hukum ini menjadi tantangan kita," ujarnya.
Di sisi lain, tantangan global yang mempengaruhi industri kelapa sawit pada 2024, di antaranya pertumbuhan ekonomi global masih dilanda ketidakpastian, karena dinamika negara-negara maju yang berdampak ke global. "Amerika masih dilanda inflasi diatas target, China juga bergulat dengan perlambatan ekonomi, Eropa ekonominya melemah, ini akan menjadi tantangan di 2024," pungkasnya.
GAPKI Prediksi Ekspor Kelapa Sawit Turun Lebih dari 4% pada 2024, Harga Bisa Naik?
Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan ekspor kelapa sawit akan mengalami penurunan lebih dari 4 persen pada 2024. Penurunan ekspor ini karena pertumbuhan produksi tidak tinggi.
Ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono bahkan memprediksi peningkatan produksi paling tinggi tidak lebih dari 5 persen.
"Jika mandatori B35 diperpanjang maka kebutuhan domestik Indonesia bisa mencapai 25 juta ton. Dengan demikian, Maka ekspor kelapa sawit di tahun 2024 akan berkurang 4,13 persen atau hanya sekitar 29 juta ton," kata Eddy dalam Pakistan Edible Oil Conference yang diselenggarakan di Karachi, Pakistan, di kutip Selasa (16/1/2024).
Ketua bidang luar negeri GAPKI, Fadhil Hasan, dalam paparannya mengenai industri kelapa sawit Indonesia menyatakan, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleochemichal. Sehingga trend penurunan ekspor sebetulnya sudah terjadi sejak 2020 dengan tujuan ekspor utama yakni China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat.
Penyebab lainnya adalah produksi, Fadhil menyampaikan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2005.
“Periode 2005-2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10 persen, lalu 2010-2015 turun 7,4 persen, kemudian periode 2015-2020 turun 3,2 persen dan seterusnya stagnan," ungkap Fadhil.
Advertisement