Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Marton, mengaku saat ini pihaknya bersama Pemerintah meminta kepada Uni Eropa untuk menunda penerapan kebijakan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) hingga 2026.
"Kita mendukung perjuangan pemerintah untuk (EUDR) minta diundur menjadi di tahun 2026. Kenapa demikian? karena petani-petani kita belum siap," kata Eddy Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).Â
Baca Juga
Uni Eropa akan menerapkan regulasi EUDR pada Januari 2025. Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Risiko’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Rendah Risiko’.
Advertisement
Berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki risiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit.
Dia menilai, dengan penerapan regulasi tersebut akan mempersulit ekspor sawit ke Eropa. Untuk menyelesaikan permasalahan itu, Pemerintah Indonesia berencana akan mengundang Uni Eropa ke Indonesia dan Malaysia guna melihat dampak EUDR terhadap petani kelapa sawit.
Sejalan dengan hal itu, Gapki juga mendukung rencana Pemerintah yang berusaha agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai high risk country terkait EUDR.
"Yang paling pemerintah akan perjuangkan adalah jangan sampai kita dikategorikan sebagai high risk country. Ini yang kita perjuangkan untuk masuk ke kategori low risk country," ujarnya.
Dalam kesemptan yang sama, Staf Ahli Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud, menyebut sawit bukan merupakan komoditas yang merusak hutan.
"Kita sampaikan kita bukan perusak hutan, bukan perusak alam. Hutan kita masih 120 juta hektare (ha). Di dalam hutan itu sendiri kelapa sawit hanya 16 juta ha," kata Musdalifah.
Justru, kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, sejak adanya regulasi EUDR, kinerja sawit nasional jadi terganggu. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara penghasil sawit lainnya.
"Dulu ada regulasi EUDR, sekarang sudah ada. Hampir seluruh negara produsen menolak EUDR," pungkasnya.
Â
Produksi CPO Diprediksi Turun
Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan produksi dan produktivitas industri sawit relatif stagnan dan cenderung turun pada 2024.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, mengatakan proyeksi tersebut dipengaruhi oleh konsumsi dalam negeri yang terus meningkat (pangan, biodiesel, oleochemical), volume ekspor cenderung menurun, dan realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sangat rendah, serta dihadapkan dengan sejumlah tantangan.
Adapun tantangan yang dihadapi industri sawit pada 2024, di antaranya, pertama, masih adanya kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk dalam negeri, kampanye negatifnya berupa adanya buku-buku pendidikan yang negatif terhadap sawit, dan juga di media sosial banyak informasi yang bernuansa negatif. Sementara kampanye negatif luar negeri, yakni diskriminasi sawit melalui EU Deforestasi.
"Kampanye negatif masih terus berlanjut, sawit merambah hutan, luar negeri EU juga terus berubah. Ini kita terus hadapai kita bersama Pemerintah kita tidak sendiri untuk menghadapi kampanye-kampanye ini,"Â kata Eddy dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Â
Advertisement
Tantangan Kedua
Tantangan kedua, yaitu tidak jelasnya kepastian hukum dan kepastian berusaha. Seperti banyaknya peraturan dan instansi yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Gapki mencatat lebih dari 31 Kementerian dan Lembaga yang mengatur dan terkait dengan industri kelapa sawit, sehingga menyebabkan tumpang tindih peraturan. Kemudian, kebijakan di dalam negeri yang mudah berubah.
"Lebih dari 31 Kementerian Lembaga yang membingungkan kita. Kepastian hukum ini menjadi tantangan kita," ujarnya.
Di sisi lain, tantangan global yang mempengaruhi industri kelapa sawit tahun 2024, diantaranya pertumbuhan ekonomi global masih dilanda ketidakpastian, karena dinamika negara-negara maju yang berdampak ke global.
"Amerika masih dilanda inflasi diatas target, China juga bergulat dengan perlambatan ekonomi, Eropa ekonominya melemah, ini akan menjadi tantangan di 2024," pungkasnya.
Kinerja CPO pada 2023
Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produk Crude Palm Oil (CPO) atau Minyak Sawit Mentah dan Palm Kernel Oil (PKO) atau Minyak Inti Sawit mengalami penurunan sebesar 2,38 persen menjadi 32,21 juta ton pada 2023, dibandingkan tahun 2022 sebesar 33,15 juta ton.
"Sementara itu ekspor biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Untuk produksi bulanannya, pada 2023 relatif stabil berkisar antara 4,2 juta ton sampai 5 juta ton. Sedangkan, ekspor bulanan berkisar antara 2,1 juta ton sampai 3,6 juta ton, yang tergantung pada isu dan kondisi di negara importir seperti stok, harga minyak sawit, dan minyak nabati lainnya, serta tergantung pada situasi ekonomi negara tujuan.Â
Berdasarkan catatan Gapki, penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan EU yakni sebesar 11,6 persen dari 4,13 juta ton di tahun 2022 menjadi 3,70 juta ton di tahun 2023. Sebaliknya ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33 persen dari 3.183 ribu ton menjadi 4.232 ribu ton, China naik 23% dari 6,280 ribu ton menjadi 7.736 ribu ton, India naik 8 persen dari 5.536 ribu ton menjadi 5.966 ribu ton dan USA naik 10 persen dari 2.276 ribu ton menjadi 2.512 ribu ton.
Turunnya harga rata-rata kelapa sawit selama tahun 2023 dibanding 2022 di pasar Ciff Rotterdam sebesar 28,7 persen, dimana rata-rata harga tahun 2023 adalah USD 964/ton atau jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan rata-rata USD 1.352/ton, menyebabkan penurunan nilai ekspor kelapa sawit Indonesia yang cukup signifikan dari USD 39,07 miliar pada tahun 2022 menjadi USD 30,32 miliar pada 2023.
"Dengan stok awal tahun 2023 sebesar 3,69 juta ton, stok akhir produk CPO dan PKO Indonesia tahun 2023 diperkirakan mencapai 3,14 juta ton," pungkasnya.
Advertisement