Sukses

Belajar dari Kegagalan BBG, Swasembada Energi Prabowo Dapat Sukses?

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya masih menanti rincian program Prabowo untuk melakukan swasembada energi.

Liputan6.com, Jakarta - Calon presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian besar terhadap impor BBM yang menggerus keuangan negara. Program swasembada energi lantas jadi salah satu janji Prabowo agar Indonesia tak lagi ketergantungan impor. 

Salah satu caranya, lewat pengembangan bioenergi dengan campuran 100 persen. Semisal biodiesel dari minyak sawit (B100) hingga bioetanol yang berasal dari tebu (E100).

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya masih menanti rincian program Prabowo untuk melakukan swasembada energi. 

Lantaran, ia tak mau itu bernasib serupa dengan kegagalan program bahan bakar gas (BBG) yang sempat diinisiasi pemerintah untuk menjemput pemakaian energi lebih bersih. 

"Harusnya kan pemerintah dulu membikin, habis itu kita lihat di publik. Saat ini kita belum lihat timeline-nya. Kayak dulu ambisi untuk mengalihkan ke yang gas, BBG juga sedikit sekali yang berhasil," ujarnya kepada Liputan6.com, dikutip Minggu (3/3/2024).

"Ya sesuai janji-janji politik yang kemarin detilnya harus mulai dimunculkan, karena kita juga menunggu. Tahapan-tahapan, anggarannya juga (harus lebih didetilkan)," ungkap Berly. 

Sebagai contoh, ia menyebut kendaraan-kendaraan di Indonesia belum serta merta siap untuk pengembangan bioenergi seperti B100 yang berasal dari minyak sawit. "Tapi tidak semua mesin atau cukup banyak mesin yang tidak cocok kalau dipakai biodiesel 100," imbuhnya. 

Begitu juga dengan E100 yang berasal dari tebu, Berly pun mempertanyakan kesiapan kendaraan yang ada di Tanah Air untuk bisa menerima bahan bakar tersebut.

"Sama, apakah bisa dipakai semua mobil bensin? Dari teman-teman teknik bilang enggak semua mesin cocok, nanti malah rusak. Apalagi (kendaraan) yang lama-lama," pungkas dia.

2 dari 4 halaman

Pertanyakan Swasembada Energi

Sebelumnya diberitakan, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI) Berly Martawardaya mengatakan, dari hasil perbincangan dengan para profesional di bidang teknis, swasembada energi memang bagus untuk menekan angka impor. 

Namun, implementasi program swasembada energi seperti B100 dan E100 masih jadi tanda tanya besar. "Tapi tidak semua mesin atau cukup banyak mesin yang tidak cocok kalau dipakai biodiesel 100," kata Berly kepada Liputan6.com, dikutip Sabtu (2/3/2024).

Menurut dia, ketimbang hanya terpaku pada pengembangan bioenergi, pemerintah bisa menggiatkan program energi hijau lain semisal penggunaan kendaraan listrik, termasuk di sektor transportasi publik. 

"Sehingga enggak bisa hanya dihitung jadi substitusi, tetap kita harus mendorong public transport dan melakukan elektrifikasi. At least hitungan/data/info yang saya terima ya enggak cukup lah kalau hanya dari biodiesel," imbuhnya. 

Sementara untuk wacana E100, Indonesia masih terbentur kebutuhan gula rumah tangga dan industri yang banyak impor. Pemakaian tebu sebagai bahan baku E100 dihadapkan pada kuota impor gula 2024 yang mencapai 5,4 juta ton. 

Sama halnya dengan B100 yang berasal dari sawit, Berly pun mempertanyakan kesiapan kendaraan yang ada di Tanah Air untuk bisa menerima bahan bakar E100 sebagai pengganti BBM. 

"Sama, apakah bisa dipakai semua mobil bensin? Dari teman-teman teknik bilang enggak semua mesin cocok, nanti malah rusak. Apalagi (kendaraan) yang lama-lama," ungkap dia. 

3 dari 4 halaman

Bioetanol Diklaim Lebih Efisien dari Biodiesel, Ini Buktinya

Sebelumnya diberitakan, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Muhammad Abdul Ghani menilai bioetanol lebih efisien dibandingkan dengan biodiesel. Hal ini dilihat dari tingkat produksi diantara keduanya.

"Saya ingin mengelaborasi dari perspektif efisiensi sumber daya. diantara dua komoditas energi yang berbasis Green yaitu Biodiesel dan bioetanol, itu sebenarnya yang paling efisien itu bioetanol," ujar dia di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (26/10/2023).

Dia membandingkan, dengan luasan sawit sebesar 16 juta hektare di Indonesia, mampu memproduksi minyak sawit rata-rata 3 juta ton per hektare. Jika dikonversi, hanya menghasilkan sekitar 2 kilo liter per hektare.

"3 ton per hektare itu kalo di-convert menjadi biodiesel itu hanya 2,5 KL per hektare jadi hanya 2.500 liter per hektare per tahun untuk biodiesel," kata dia.

Butuh Dua Jalur ProsesNamun, untuk proses bioetanol bisa melalui dua jalur. Pertama, saat tebu diolah menjadi gula, sisa tetes nya bisa diolah menjadi etanol. Kedua, tebu diolah menjadi nira, dan nira bisa langsung diproses jadi etanol.

"1 hektare lahan tebu itu bisa menghasilkan etanol 4-5 KL jadi antara 4.000-5.000 liter, maknanya apa? Kemampuan tanah (lahan) menghasilkan etanol 2 kali lebih besar dibandingkan dengan biodiesel," bebernya.

4 dari 4 halaman

Geser dari Biodiesel ke Bioetanol

Abdul Ghani mengusulkan peta jalan atau roadmap energi baru terbarukan Indonesia bisa melirik dan mengalihkan dari biodiesel ke bioetanol.

"Jadi, menurut saya roadmap energi baru terbarukan Indonesia yang paling tepat adalah menggeser yang tadinya biodiesel ke etanol," jata dia.

Dia juga mengusulkan, lahan sawit di Indonesia bisa dikurangi dari 16 juta hektare menjadi 14 jura hektare saja. Dengan jumlah itu, Abdul Ghani memandang masih bisa memenuhi kebutuhan salam negeri. Caranya, dengan fokus menggenjot produktivitas lahan tersebut.

"Saya ambil contoh, klo PTPN itu produktivitas sawit itu 5,1 ton per hektare tapi rata-rata nasional cuma 3 (ton). Jadi itu perlu diusahakan pemerintah melalui peremajaan sawit rakyat," ujarnya.

Kebutuhan Energi

Dia menyatakan, 2 juta hektar sisanya bisa dikonversi menjadi lahan tebu untuk memproduksi bioetanol. Artinya, ada potensi produksi hingga 10 juta KL.

"Jadi dari teman-teman Pertamina sekarang itu kebutuhan gasoline itu sekitar 35 juta kl, jadi klo ada 10, berarti sudah sekitar 30%, E30, Brazil aja sekarang baru E27," kata dia.

"Jadi kalau itu dilakukan Indonesia, kalau cerita tentang ketahanan nasional itu ke depan berbasis ketahanan pangan dan energi kalo pemerintah sudah memiliki program ini, inisiasinya kami juga sudah diminta untuk melakukan studi kelayakan di Papua, maka itulah yang akan jadi masa depan indonesia mandiri dari sisi energi," pungkas Abdul Ghani