Liputan6.com, Jakarta - El Nino kini tengah menjadi momok yang membuat harga pangan melambung. Gangguan iklim yang dibuatnya menyebabkan tingkat produksi petani terganggu, sehingga harga jual kepada konsumen akhir turut terkena imbas.
Lantas, apa sebenarnya itu El Nino?
Baca Juga
Melansir informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Senin (4/3/2024), El Nino Southern Oscillation (ENSO) didefinisikan sebagai anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
Advertisement
Istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang artinya anak laki-laki. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang natal.
Kondisi yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai El Nino de Navidad yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir. Menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan ini ternyata berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Adapun iklim di Samudera Pasifik dapat bervariasi dalam tiga kondisi (fase):
- 1. Fase Netral: Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.
- 2. Fase El Nino: Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
- 3. Fase La Nina: Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Dalam istilah ilmu iklim saat ini, El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya. Sementara anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.
Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah. Sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Imbas ke Produksi Pertanian
Menurut Penyuluh Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Kadek Leni, berdasarkan informasi Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) pada 2023, dengan meningkatnya 1 derajat Celcius anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino, berpotensi menyebabkan penurunan curah hujan bulanan di wilayah Indonesia berkisar 0-55 mm.
Penurunan curah hujan dengan wilayah paling terdampak yakni di Pulau Kalimantan dan Sulawesi, sebagian besar Jawa dan Papua, juga kemungkinan Bali. Dampak yang terjadi dari badai El Nino terlihat pada penurunan debit sungai serta berkurangnya tinggi muka air waduk dan muka air tanah.
Sehingga, El Nino dapat memiliki dampak signifikan terhadap sektor pertanian. Mulai dari kekeringan yang mengurangi ketersediaan air irigasi, menyebabkan penurunan produksi tanaman hingga gagal panen.
Dampak berikutnya, menimbulkan penyakit tanaman imbas perubahan pola cuaca seperti peningkatan suhu dan kelembapan rendah. Beberapa penyakit seperti hawar daun, layu, dan penyakit lainnya berpotensi menyebar cepat membuat kerugian besar pada tanaman pertanian.
Lalu, perubahan pola hama semisal wereng padi, ulat grayak, dan kutu daun mampu berkembang biak cepat di bawah kondisi panas dan kering. Seluruh dampak tersebut pada akhirnya membuat penurunan produksi dan ketidakstabilan harga.
Advertisement
Riwayat El Nino
Berdasarkan data Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), dalam 30 tahun terakhir terdapat dua peristiwa El Nino ekstrem. Pertama pada 1997-1998, dan kedua pada 2015-2016. Keduanya menyebabkan perubahan suhu udara dan lautan global, pola angin, dan curah hujan di atmosfer, serta permukaan laut.
Dalam dua El Nino ekstrem itu, NASA menggunakan satelit berbeda untuk melakukan pemantauan. Antara lain, satelit TOPEX/Poseidon buat fenomena pada 1997, dan satelit Jason-2 pada 2015. Salah satu hasilnya adalah perubahan pola ketinggian lautan, baik itu di atas rata-rata maupun di bawah rata-rata, di Pasifik saat El Nino berlangsung.
Rinciannya, Oktober 1997 dan 2015, sebagian besar wilayah Pasifik tengah dan timur memiliki permukaan laut lebih tinggi 7 inci (18 sentimeter) dari biasanya. Sementara pada 2023, permukaan air laut sekitar 2 atau 3 inci (5 hingga 8 cm) lebih tinggi dari rata-rata dan wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan El Nino 1997 dan 2015.
El Nino 2024 Bakal Lebih Parah?
Adapun berdasarkan laporan Climate Outlook 2024 yang dirilis BMKG, indeks El Nino kali ini diperkirakan akan berada pada kisaran anomali +0,94 hingga +0,06 atau lemah hingga netral.
Menurut BMKG, El Nino akan berada di fase lemah dengan indeks ENSO bernilai 0,94 pada Januari, Februari, dan Maret 2024 mendatang. Memasuki Maret, April, dan Mei 2024, indeks ENSO akan melemah hingga 0,46 alias netral.
"Fase Netral akan bertahan hingga akhir tahun 2024. Namun, terdapat peluang kecil bahwa ENSO akan berkembang menjadi fase La Nina pada semester kedua 2024," tulis BMKG dalam laporannya.
Jika melihat faktor ENSO yang diprediksi akan beralih menuju netral pada Maret, April, dan Mei 2024, BMKG menyebutkan curah hujan tahunan di Indonesia sepanjang 2024 cenderung normal.
"Pertimbangan lainnya karena kondisi El Nino lemah di periode musim hujan sudah tidak berdampak bagi curah hujan di Indonesia," ungkap BMKG.
Dalam outlook yang dirilis pada 21 Januari 2024 itu, BMKG juga mengungkapkan, pada awal tahun hingga kuartal pertama 2024, curah hujan pada musim hujan diprediksi normal, kecuali Indonesia bagian selatan yang diprediksi di bawah normal.
Sementara curah hujan pada kuartal kedua, yakni awal musim kemarau diprediksi secara umum normal pada pertengahan tahun. Kemudian di awal musim hujan pada kuartal ketiga hingga akhir tahun diperkirakan berada pada kecenderungan lebih rendah dari normalnya.
Meskipun secara umum curah hujan diprediksi normal, BMKG memperingatkan sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami curah hujan tahunan tinggi, yakni lebih dari 2.500 mm per tahun.
Advertisement
Peringatan BMKG
Adapun, kawasan yang mendapat peringatan dari BMKG terkait curah hujan tahunan tinggi ini, antara lain: pegunungan bukit barisan Sumatra, sebagian Riau, sebagian Jambi, sebagian Sumatra Selatan, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi bagian tengah, Kepulauan Maluku, dan sebagian besar Papua.
Dalam laporan yang sama, BMKG menyebutkan suhu udara permukaan rata-rata bulanan di wilayah Indonesia mulai Januari-Desember 2024 diprediksi lebih hangat jika dibandingkan dengan periode 1991-2020, antara 0,23 derajat Celsius hingga 0,36 derajat Celsius dengan rata-rata sebesar 0,3 derajat Celsius.
Selain itu, meskipun kemarau 2024 diprediksi berlangsung normal, BMKG menyebut sejumlah wilayah berpotensi mengalami kekeringan karena memiliki curah hujan yang lebih rendah.
Kawasan yang berpotensi mengalami kekeringan adalah sebagian Lampung, sebagian Jawa, sebagian Bali, sebagian Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagian Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua bagian selatan.