Sukses

Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Disebut Kebijakan Robin Hood

Ekonom menilai dalam kacamata 'kebijakan publik', kebijakan makan siang gratis sifatnya sangat suplemental, bukan fundamental.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, menilai dalam kacamata 'kebijakan publik', kebijakan makan siang gratis sifatnya sangat suplemental, bukan fundamental.

Menurutnya, program tersebut akan berkorelasi dengan kecukupan gizi anak-anak, sehingga mereka bisa belajar dengan fokus dan serius. Tapi tidak akan merubah struktur ekonomi politik nasional karena tidak akan mengurangi ketimpangan dan juga tidak akan mendorong terjadinya keadilan ekonomi.

"Jadi, akan jauh lebih baik jika pendapatan orang tua anak-anak penerima makan gratis tersebut naik dan membaik, sehingga mereka mendapatkan bekal gizi yang cukup langsung dari kantong orang tuanya," kata Ronny dalam keterangannya, Rabu (6/3/2024).

Untuk membuat pendapatan para orang tersebut meningkat, diperlukan kebijakan yang transformatif di satu sisi dan belanja sosial (social spending) yang tidak sedikit di sisi lain.

Kebijakan Robin Hood

Secara kategoris, kebijakan makan siang gratis masuk ke dalam kategori kebijakan sosial. Sementara itu, kebijakan sosial dan belanja sosial sering diistilahkan oleh para ekonom dengan sebutan kebijakan "robin hood".

Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong terjadinya redistribusi ekonomi dari kalangan kelas atas untuk kalangan kelas bawah. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong terjadinya distribusi ekonomi yang lebih merata.

Sebagaimana diketahui, memang salah satu fungsi dari APBN adalah sebagai instrumen redistribusi ekonomi. Karena itulah sering disebut dengan istilah kebijakan robin hood.

"Mengapa demikian? Karena sumber pembiayaannya diambil dari pengenaan pajak yang lebih tinggi untuk kelas atas," ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Sumber Anggaran

Pertama, anggarannya bisa bersumber dari kenaikan pajak pendapatan orang kaya, pajak pendapatan perusahaan (corporate income tax), pajak barang mewah, pajak warisan dengan jumlah tertentu, dan lainnya. Kedua, bersumber dari pajak dosa (sin taxes), seperti kenaikan cukai rokok, pajak minuman keras, pajak hiburan malam, pajak kerusakan lingkungan, dan lainya.

"Jadi, dengan kenaikan pajak untuk semua jenis objek pajak ini akan mendorong terjadinya redistribusi ekonomi, karena memang dikenakan kepada kelas atas untuk membiayai program-program untuk kelas bawah," jelasnya.

Lalu ketiga, bisa juga bersumber dari pengalihan subsidi energi, yang sebelumnya harus didukung oleh bukti faktual bahwa telah terjadi praktek subsidi energi yang tidak tepat sasaran. Misalnya, subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang oleh masyarakat miskin.

Namun membiayai kebijakan sosial dari dana pengalihan subsidi harus dilalukan secara hati-hati. Syaratnya, anggaran subsidi memang memakan dana yang besar melebihi 2 persen dari PDB nasional, sehingga sangat membebani anggaran nasional. Masalahnya untuk Indonesia, anggaran subsidi energi ternyata hanya sekira 0,9 persen saja dari PDB

 

3 dari 3 halaman

Kebijakan Energi

Selanjutnya, jika memang ingin meluruskan praktek subsidi energi, perlu dilakukan antisipasi dari kenaikan harga energi dengan kebijakan-kebijakan penguatan daya beli masyarakat di satu sisi (social protection policy) dan kebijakan penerapan subsidi energi secara tertarget yang dilakukan secara ketat dan matang.

Karena sebagaimana diketahui bersama bahwa kebijakan subsidi energi seringkali diposisikan sebagai kebijakan "prize stabilisation" oleh banyak negara alias bukan sebagai kebijakan pemberian subsidi. Walhasil, penghapusan subsidi menjadi opsi kebijakan yang sulit karena berpotensi menciptakan multiplier effects ke berbagai sektor.

"Artinya, mencabut energi subsidi harus dalam rangka meluruskan praktek subsidi bahwa penerima subsidi adalah kelompok masyarakat tertentu, yang memang secara kategoris layak menerima subsidi," ujarnya.

Ronny menilai, program yang diusung Prabowo-Gibran tidak akan mendatangkan "transformasi ekonomi" untuk Indonesia jika yang dimaksud dengan "transformasi" di debat capres ketiga hanyalah sebatas makan siang gratis, yang naasnya dananya diambil dari utak-atik anggaran sosial kesejahteraan lainya, bukan dari dana pajak yang dikenakan kepada orang kaya.

"Imbas dari kebijakan makan siang gratis tidak akan sistematis dan struktural, justru hanya akan menambah ketimpangan di mana para orang kaya semakin menguasai kue ekonomi nasional, tapi masyarakat kelas menengah ke bawah hanya diberi makan siang gratis," pungkasnya.