Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga ini masih terdapat 7 perusahaan asuransi dalam pengawasan khusus, lantaran perseroan itu tidak mampu memenuhi jumlah minimum Risk Based Capital (RBC) 120 persen, ekuitas minum Rp 100 miliar dan rasio kecukupan investasi minimal 100 persen.
"Saat ini masih terdapat 7 (tujuh) perusahaan asuransi yang masuk dalam pengawasan khusus OJK," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono, dalam jawaban tertulis RDKB Februari, dikutip Rabu (6/3/2024).
Baca Juga
Sebelumnya, OJK melaporkan aset industri asuransi komersil pada Januari 2024 mencapai Rp903,07 triliun atau naik 3,87 persen. Dari sisi kinerja asuransi komersil, pendapatan premi pada Januari 2024 mencapai Rp36,25 triliun, atau naik 18,63 persen yoy.
Advertisement
Hal yang sama, premi asuransi jiwa juga tumbuh sebesar 8,24 persen yoy per Januari 2024 dengan nilai sebesar Rp17,34 triliun, dan premi asuransi umum dan reasuransi tumbuh sebesar 18,91 triliun atau 30,09 persen yoy.
"Secara umum permodalan di industri asuransi tetap solid, dengan industri asuransi jiwa dan asuransi umum mencatatkan Risk Based Capital (RBC) yang di atas threshold masing-masing sebesar 447,68 persen dan 344,32 persen (Desember 2023: 457,98 persen dan 363,10 persen), jauh di atas threshold sebesar 120 persen," ujar Ogi.
Untuk asuransi sosial, total aset BPJS Kesehatan per Januari 2024 tercatat Rp106,20 triliun atau menurun 7,19 persen dibandingkan posisi Januari 2023 sebesar Rp 114,43 triliun.
Pada periode yang sama, total aset BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp738,05 triliun, atau tumbuh sebesar 13,08 persen yoy. Aset BPJS Ketenagakerjaan tersebut terdiri dari aset yang terkait dengan program asuransi sebesar Rp 108,74 triliun atau meningkat 11, 92 persen dan aset yang terkait dengan program pensiun sebesar Rp 629,31 triliun atau meningkat 13,28 persen.
OJK dan OECD Luncurkan Kajian Pemanfaatan Teknologi Sektor Asuransi
Sebelumnya diberitakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerjasama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) meluncurkan kajian pemanfaatan teknologi di sektor asuransi untuk meningkatkan penilaian risiko dan pengurangan risiko pemegang polis.
Peluncuran kajian yang berjudul The Leveraging Technology for Risk Assessment and Risk Reduction in Insurance berlangsung di Bali, Kamis, (14/12/2023). Peluncuran dalam format roundtable discussion dan dihadiri 85 orang peserta dari 27 negara.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan potensi pemanfaatan teknologi pada sektor asuransi sangat besar.Â
Pemanfaatan tersebut dapat digunakan untuk memperluas jangkauan dan layanan asuransi, serta mencegah mis-selling dalam proses pemasaran produk asuransi, seperti penggunaan analisis big data dan kecerdasan buatan untuk memastikan kesesuaian produk yang ditawarkan dengan profil, preferensi, dan kebutuhan pemegang polis.
Menurut Ogi, pemanfaatan teknologi juga tidak hanya di sisi pemasaran, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas layanan purna jual, khususnya untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam proses penyelesaian klaim, pembayaran manfaat asuransi, dan memungkinkan penanganan keluhan secara lebih cepat.
Ogi menambahkan bahwa hingga 2030, nilai perkiraan ekonomi digital Indonesia mencapai lebih dari 200 hingga USD 300 miliar dan Indonesia memiliki 215 juta pengguna internet atau 77 persen dari populasi.Â
Oleh karena itu, perusahaan asuransi di Indonesia perlu beradaptasi dengan era digitalisasi ini dan menentukan langkah-langkah strategis untuk dapat bertransformasi dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam mendukung implementasi proses bisnis mereka guna meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.
Sementara itu, Chair OECD Insurance and Private Pensions Committee (IPPC) Yoshihiro Kawai, menyampaikan bahwa teknologi dapat berkontribusi untuk mendorong pengurangan risiko pemegang polis dengan meningkatkan kapasitas perusahaan asuransi dalam menilai risiko, yang dapat menetapkan harga secara lebih akurat, mengenali risiko secara lebih baik, dan mitigasi atau penanganan risiko yang lebih baik pula.Â
Namun, penerapan teknologi baru ini juga dapat menciptakan risiko bagi perusahaan asuransi dan pemegang polis mereka yang perlu dikelola dengan hatihati oleh penyedia layanan serta melalui pengembangan kerangka kerja regulasi dan pengawasan yang sesuai.
Â
Advertisement
Pegang Peran Kritis
Sedangkan Senior Policy Analyst OECD Timothy Bishop, menambahkan bahwa regulator dan pengawas asuransi memegang peran kritis dalam menyeimbangkan kebutuhan untuk memungkinkan penggunaan teknologi oleh perusahaan asuransi sambil memastikan bahwa konsumen dilindungi dengan tepat.
Acara roundtable discussion ini selain menghadirkan narasumber dari OJK juga pembicara dari berbagai negara seperti Nepal Insurance Authority (NIA), Insurance Regulatory and Development Authority of India (IRDAI), Bank Negara Malaysia, Malaysia Takaful Association, AXA Mandiri Indonesia, MSIG Asia, Insurance Authority of Hong Kong, China, Allen & Overy LLP, The Geneva Association, dan Hawaii National Association of Insurance.Â
Acara diskusi ini akan dilanjutkan dengan Insurance Regulators and Supervisors’ Meeting yang akan dilaksanakan pada Jumat (15/12). Pertemuan regulator dan pengawas asuransi ini akan mempertemukan regulator dan pengawas dari negaranegara yang hadir untuk mendiskusikan pemanfaatan dan pengaturan teknologi pada sektor asuransi dan kemungkinan kolaborasi pada waktu yang akan datang.
Acara ini merupakan tindak lanjut dari kajian yang didasarkan pada tanggapan terhadap kuesioner yang diterima dari regulator/pengawas asuransi dan perusahaan asuransi dari seluruh dunia, serta diskusi mendalam dengan regulator/pengawas asuransi dan perusahaan asuransi serta asosiasi di Indonesia, India, Nepal, dan Malaysia.Â
Perkuat Sektor Asuransi, OJK Gandeng 2 Lembaga Asal Korea Selatan
Sebelumnya diberitakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggandeng 2 lembaga Korea Selatan guna memperkuat sektor perasuransian tanah air. Kedua perjanjian kerja sama ini memiliki jangka waktu 2-3 tahun.
Dua lembaga yang digandeng adalah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC) dan Korea Insurance Development Institute (KIDI). Tujuannya memperkuat infrastruktur keuangan dengan mengembangkan kerangka Jaring Pengaman Keuangan (Financial Safety Net) di sektor asuransi dan pengembangan database teknik penilaian risiko dan penentuan tarif premi asuransi.
Nota kesepahaman OJK dengan KDIC ditandatangani Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono dan Chairman /Presiden KDIC Jaehoon Yo di Seoul, Korea Selatan, Kamis (7/12). Sementara nota kesepahaman OJK dengan KIDI ditandatangani Ogi Prastomiyono dengan Chairman/CEO KIDI Chang-Eon Heo di Seoul, Rabu (6/12).
Ruang lingkup kerja sama antara OJK dengan KDIC meliputi pertukaran informasi, kerja sama isu lintas batas, pertukaran pegawai, pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia, dan bidang kerja sama lainnya yang mungkin disepakati oleh Para Pihak. Nota kesepahaman dengan KDIC ini berlaku sejak 7 Desember 2023 untuk jangka waktu selama tiga tahun sampai Desember 2026.
Ogi menyampaikan kerja sama OJK dengan KDIC ini sejalan dengan kerangka kebijakan OJK yang dibagi ke dalam dua workstream utama. Tujuannya untuk mempercepat penyelesaian perusahaan asuransi yang bermasalah.
"Dan secara simultan mempersiapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mendorong pengembangan dan penguatan sektor industri asuransi nasional agar menjadi sebuah sektor industri yang sehat, kuat, dan mampu tumbuh secara berkelanjutan," tuturnya dalam keterangan resmi, Sabtu (9/12/2023).
Menurutnya, OJK berkomitmen penuh untuk mendukung terlaksananya amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang mengatur tentang pelaksanaan program penjaminan polis dalam jangka waktu lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan.
Â
Advertisement
Masa Transisi
Untuk itu, dalam masa transisi sampai dengan pelaksanaan program penjaminan polis pada 2028 mendatang, OJK perlu mempersiapkan sejumlah hal. Terutama yang berhubungan dengan penguatan unsur Financial Safety Net pada sektor industri asuransi, termasuk di antaranya mengenai resolusi dan pemulihan aset perusahaan asuransi.
"Hadirnya program penjaminan polis diharapkan dapat memberikan kepastian pembayaran manfaat/klaim asuransi, sehingga melindungi pemegang polis dari risiko kegagalan operasional perusahaan asuransi.
Hal ini tentunya sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap kredibilitas sektor industri asuransi nasional, sekaligus mendorong minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan asuransi," papar Ogi.