Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menekankan perlunya transisi energi ke energi bersih. Ini juga berkaitan dengan kebijakan perdagangan yang mulai dijalankan oleh negara-negara di dunia, seperti Uni Eropa.
Dadan mengisahkan, salah satu aspek yang akan dilihat adalah mengenai jejak karbon atau carbon footprint sebagai bentuk emisi yang dihasilkan dari pembuatan suatu produk. Aspek ini akan jadi pertimbangan Uni Eropa menerima barang dari luar daerahnya.
Baca Juga
"Kalau kita memproduksi suatu barang, pabrik smelter, pabrik bahan kimia, makanan atau apapun itu kan ditanya tuh carbon footsprint-nya sepeti apa. Bagaimana sih memproduksinya, apakah dalam proses produksi itu seberapa banyak emisi CO2 nya itu dirilis," kata Dadan dalam Rembuk Nasional Transisi Energi, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Advertisement
Dia mengatakan, ini menjadi kebijakan beberapa negara maju untuk melihat dampak terhadap lingkungan dari produk yang dihasilkan. Utamanya, sejalan dengan upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Di Indonesia sendiri akan diberlakukan pajak karbon. Kemudian, ada Uni Eropa dan Inggris yang akan menerapkan pajak karbon dalam waktu dekat.
"Nah ini ditanya kalau kita akan ekspor, atau kalau impor pun, kalau di dalam negeri pun sekarang sudah mulai nih kan ada kebijakan pajak karbon meskipun belum diimplementasikan," kata dia.
"Jadi hal ini kalau ktia tidak siap, nah daya saing ktia ini menurun, kan ini sekarang sering mendengar nih carbon tax dari Uni Eropa yang akan diterapkan 2026 UK (United Kingdom) juga akan menerapkan 2026," sambung Dadan.
Â
Kena Pajak Lebih Mahal
Dadan mencoba memberikan penghitungan sederhana. Contohnya adalah perbandingan besaran pajak yang dikenakan atas produk dengan tingkat emisi yang berbeda.
Misalnya, kata dia, Indonesia dan Vietnam memproduksi barang senilai 100 uero dan diekspor ke Uni Eropa. Aspek pertama yang ditanyakan adalah soal jejak karbon.
Umpamanya, Indonesia memproduksi barang dengan basis tenaga listrik yang dominan dari PLTU. Sementara, Vietnam memproduksi barang dengan listrik yang berbasis energi bersih. Maka, pajak yang dikenakan pada produk Indonesia bisa lebih tinggi dari Vietnam.
"Barang dari Indoneisa dikasih pajak 10 euro, barang dari Vietnam dikasih pajaknya 1 euro. Artinya barang kita jadi 110 euro, barang Vietnam menjadi 101 euro. Kalau orang EU barangnya sama, kualitasnya sama, barangkali kemungkinan besar akan membeli barang yang lebih murah. Barang kita kurang daya saingnya, kurang disitu," urainya.
"Jadi ini bukan sesuatu yang dipaksakan tapi ini suatu kebutuhan buat kita, dan juga tentunya bahwa kita sebagai warga dari dunianyang harus sama-sama kontribusi," pungkas Dadan.
Advertisement
Transisi Energi Jadi Momen Pemerintah Perbaiki Sektor Hulu Migas
Sebelumnya, praktisi migas yang sekaligus merupakan pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Widhyawan Prawiraatmadja, mengatakan keberlanjutan investasi di sektor hulu migas harus dijaga hingga mencapai tahap monetisasi, setelah adanya temuan-temuan sumber daya baru seperti yang terjadi di Wilayah Kerja South Andaman, Provinsi Aceh dan Wilayah Kerja Geng North, Provinsi Kalimantan Timur.Â
Menurut Widhyawan Penemuan sumber daya gas bumi yang ada harus menjadi momentum bagi pemerintah. Tak bisa dipungkiri jika gas bumi akan mendominasi temuan migas di Indonesia saat ini dan ke depannya. Jadi gas itu isunya adalah monetisasi.
Akan sangat berbeda keekonomiannya jika sebuah lapangan baru dapat dimonetisasi selama sepuluh tahun atau enam tahun," katanya dalam sesi diskusi berjudul "Menanti Arah Pemimpin Baru di Sektor Migas" yang diselenggarakan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA), Kamis (1/2/2024).
Lebih lanjut, Widhyawan mengungkapkan, gas bumi dapat menjadi jembatan menuju era Energi Baru dan Terbarukan. Oleh karena itu, dia mengaku tidak akan kaget jika kebutuhan gas bumi ke depannya akan terus meningkat.Â
"Karena tidak ada pilihan lain dalam era transisi energi, jika kita mau menggunakan energi yang rendah emisi," ujarnya.
Namun dia mengungkapkan adanya tantangan nyata yang harus dihadapi dalam konteks pengembangan gas bumi di Indonesia. Menurutnya, tata kelola gas bumi yang ada saat ini dinilai belum menunjukkan adanya keberpihakan dari pemerintah kepada sektor hulu.Â
Hal tersebut bisa dilihat dari penerapan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diberlakukan pemerintah untuk beberapa sektor industri.
"Kebijakan harga gas itu ada berbagai kepentingannya. Kita tahu LPG harganya dibuat murah, tetapi membuat distorsi karena harga hulu yang justru dibatasi," ungkapnya.
Jaga Kondisi
Sementara itu, Akademisi Ekonomi dan Energi dari Universitas Pertamina, A. Rinto Pudyantoro, yang hadir juga dalam acara tersebut mengatakan pemerintah ke depan wajib menjaga kondisi yang kondusif dan mengurangi polemik di sektor energi demi memastikan terjaganya iklim investasi yang baik di Indonesia.
"Keributan akibat aturan kontroversial pasti akan membuat investor berpikir ulang. Sektor migas itu kalau nggak ribut atau tenang-tenang saja selama lima tahun ke depan diyakini akan berkembang. Justru yang dapat dilakukan oleh pemerintah pada periode tersebut adalah sejumlah pembenahan atau perbaikan pada beberapa persoalan yang dianggap menganggu operasional, seperti perijinan dan tax treaty," jelasnya.Â
Advertisement