Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian menegaskan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tidak tergantung pada kebijakan deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Pemerintah mengklaim sudah ada rencana perbaikan tata kelola sawit Tanah Air.
Uni Eropa akan menerapkan kebijakan EUDR pada Januari 2025. Salah satu yang didasarnya adalah kelapa sawit dan hasil produksinya di Indonesia. Uni Eropa mengklasifikasikan kelapa sawit Indonesia masuk dalam kategori berisiko tinggi terjadi deforestasi.
Baca Juga
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dida Gardera menuturkan, kebijakan EUDR sejalan dengan rencana yang sudah disusun pemerintah. Bahkan sudah ada langkah perbaikan sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) ke tingkat hilir.
Advertisement
"Intinya kebijakan dari EUDR itu seiring dengan upaya perbaikan kiita. Kemarin kita sudah revitalisasi ISPO yang sebelumnya hanya di hulu, atau perkebunan, sekarang sudah di hilir juga, kebetulan juga ada dorongan, vitamin, terkait dengan EUDR itu yang bisa jadi dorongan untuk kita melakukan perbaikan," kata Dida saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Dia menegaskan, sebelum adanya kebijakan anti-deforestasi EUDR itu, pemerintah sudah mengamini perlunya tata kelola perkebunan sawit secara berkelanjutan. Dia enggan upaya perbaikan ini disebut karena dikte dari kebijakan yang dirilis Uni Eropa.
"Tetapi tanpa EUDR pun kita akan melakukan seperti traceability, itu sudah tuntutan kita juga untuk mengelola sawit secara berkelanjutan, jadi menyelam sambil minum air. Jadi bukan kita didikte, tapi kita memang sudah ada rencana, tinggal masalah timing (waktu) aja," kata dia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoneisa (Gapki) dan pemerintah meminta relaksasi kebijakan itu diterapkan pada 2026 mendatang. Dida mengatakan, ada negara lain yang juga meminta relaksasi serupa. "Semua negara yang terdampak meminta relaksasi," pungkasnya.
Gapki Minta EUDR Ditunda
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Marton, mengaku saat ini pihaknya bersama Pemerintah meminta kepada Uni Eropa untuk menunda penerapan kebijakan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) hingga 2026.
"Kita mendukung perjuangan pemerintah untuk (EUDR) minta diundur menjadi di tahun 2026. Kenapa demikian? karena petani-petani kita belum siap," kata Eddy Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Uni Eropa akan menerapkan regulasi EUDR pada Januari 2025. Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Risiko’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Rendah Risiko’.
Berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki risiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit.
Dia menilai, dengan penerapan regulasi tersebut akan mempersulit ekspor sawit ke Eropa. Untuk menyelesaikan permasalahan itu, Pemerintah Indonesia berencana akan mengundang Uni Eropa ke Indonesia dan Malaysia guna melihat dampak EUDR terhadap petani kelapa sawit.
Advertisement
Tidak Merusak Hutan
Sejalan dengan hal itu, Gapki juga mendukung rencana Pemerintah yang berusaha agar Indonesia tidak dikategorikan sebagai high risk country terkait EUDR.
"Yang paling pemerintah akan perjuangkan adalah jangan sampai kita dikategorikan sebagai high risk country. Ini yang kita perjuangkan untuk masuk ke kategori low risk country," ujarnya.
Dalam kesemptan yang sama, Staf Ahli Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud, menyebut sawit bukan merupakan komoditas yang merusak hutan.
"Kita sampaikan kita bukan perusak hutan, bukan perusak alam. Hutan kita masih 120 juta hektare (ha). Di dalam hutan itu sendiri kelapa sawit hanya 16 juta ha," kata Musdalifah.
Justru, kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, sejak adanya regulasi EUDR, kinerja sawit nasional jadi terganggu. Hal yang sama juga dirasakan oleh negara penghasil sawit lainnya.
"Dulu ada regulasi EUDR, sekarang sudah ada. Hampir seluruh negara produsen menolak EUDR," pungkasnya.
GAPKI: Ekspor Minyak Kelapa Sawit dan PKO Merosot 2,38% pada 2023
Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produk Crude Palm Oil (CPO) atau Minyak Sawit Mentah dan Palm Kernel Oil (PKO) atau Minyak Inti Sawit turun sebesar 2,38 persen menjadi 32,21 juta ton pada 2023, dibandingkan 2022 sebesar 33,15 juta ton.
"Sementara itu ekspor biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Untuk produksi bulanan, pada 2023 relatif stabil berkisar antara 4,2 juta ton sampai 5 juta ton. Sedangkan, ekspor bulanan berkisar antara 2,1 juta ton sampai 3,6 juta ton, yang tergantung pada isu dan kondisi di negara importir seperti stok, harga minyak sawit, dan minyak nabati lainnya, serta tergantung pada situasi ekonomi negara tujuan.
Berdasarkan catatan Gapki, penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan EU yakni sebesar 11,6 persen dari 4,13 juta ton pada 2022 menjadi 3,70 juta ton pada 2023.
Sebaliknya ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33 persen dari 3.183 ribu ton menjadi 4.232 ribu ton, China naik 23% dari 6,280 ribu ton menjadi 7.736 ribu ton, India naik 8 persen dari 5.536 ribu ton menjadi 5.966 ribu ton dan USA naik 10 persen dari 2.276 ribu ton menjadi 2.512 ribu ton.
Turunnya harga rata-rata kelapa sawit selama tahun 2023 dibanding 2022 di pasar Ciff Rotterdam sebesar 28,7 persen, di mana rata-rata harga tahun 2023 adalah USD 964/ton atau jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan rata-rata USD 1.352/ton, menyebabkan penurunan nilai ekspor kelapa sawit Indonesia yang cukup signifikan dari USD 39,07 miliar pada 2022 menjadi USD 30,32 miliar pada 2023.
"Dengan stok awal tahun 2023 sebesar 3,69 juta ton, stok akhir produk CPO dan PKO Indonesia tahun 2023 diperkirakan mencapai 3,14 juta ton," pungkasnya.
Advertisement