Liputan6.com, Jakarta - Anggaran pemerintahan Amerika Serikat (AS) 2025 yang dirilis Senin mengemas ulang proposal kenaikan pajak untuk miliarder dan perusahaan serta berbagai permintaan lain dari anggaran 2024, yang masih dalam tahap negosiasi di Capitol Hill pada pertengahan tahun fiskal yang dimulai Oktober.
Seperti semua anggaran sebelumnya, anggaran AS 2025 lebih merupakan daftar keinginan daripada dokumen kebijakan, demikian dikutip dari CNBC, Rabu (13/3/2024). Presiden AS Joe Biden siapkan anggaran pemerintah sekitar USD 7,3 triliun atau Rp113.710 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.576) untuk pengeluaran, naik dari USD 6,9 triliun atau Rp107.488 triliun pada 2024, meskipun kedua proposal tersebut mencakup permintaan yang sama untuk meningkatkan jaminan sosial, medicare, dan kenaikan pajak untuk orang kaya.
Baca Juga
Tahun ini, saat Joe Biden menghadapi kemungkinan rematch melawan Donald Trump di pemilihan presiden (Pilpres) AS pada November mendatang, anggarannya juga merupakan realisasi dari rencana ekonomi Joe Biden yang sering dikampanyekannya.
Advertisement
Sementara itu, Donald Trump dalam wawancaranya di “Squawk Box” di CNBC, menyarankan untuk memotong program-program tunjangan yakni jaminan sosial, medicare, dan medicaid.
"Ada banyak hal yang dapat Anda lakukan dalam hal tunjangan seperti pemotongan untuk mengurangi pencurian dana dan manajemen tunjangan yang buruk," kata Trump.
Biden telah berulang kali membalas komentar tersebut dalam beberapa jam setelahnya. "Bahkan pagi ini, Donald Trump mengatakan ia akan memotong jaminan sosial dan medicare," kata Biden dalam sebuah pidato di New Hampshire setelah proposal anggaran dirilis.
"Saya tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi," ia menambahkan.
Menurut Gedung Putih, anggaran ini bertujuan untuk mengurangi defisit federal sebesar USD 3 triliun atau Rp 46.741 triliun selama 10 tahun ke depan, sebagian besar dengan memberlakukan tarif pajak minimum 25% pada pendapatan yang belum dibayarkan keluarga dan individual terkaya dan mengubah kode pajak perusahaan.
Kerek Pajak Perusahaan dan Orang Kaya
Anggaran Biden akan menaikkan pajak untuk perusahaan-perusahaan bernilai miliaran dolar AS dari 15% menjadi 21% dan menaikkan tarif pajak korporasi yang lebih luas menjadi 28%.
"Kita bisa merealisasikan rencana investasi kita dengan meminta mereka yang berada di posisi 1 dan 2% teratas untuk membayar lebih banyak," ujar direktur Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih Shalanda Young, dalam sebuah panggilan telepon dengan para wartawan pada Senin.
Biden juga akan berusaha untuk memperkuat medicare dan jaminan sosial dengan mengandalkan kekuatan negosiasi federal yang baru untuk menekan harga obat resep medicare dan dengan mencari penghematan lain di bidang perumahan, asuransi kesehatan, dan lainnya. Biden mengulas berbagai cetak biru anggarannya dalam pidato kenegaraan pada Kamis.
"Apakah Anda benar-benar berpikir bahwa orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar membutuhkan keringanan pajak sebesar USD 2 triliun lagi? Saya yakin tidak. Saya akan terus berjuang sekuat tenaga untuk membuatnya adil!," ujar dia dalam pidato partisan yang berapi-api di depan Kongres.
Advertisement
Andalkan Pajak Orang Kaya Bukan Hal Baru
Rencana pendanaan yang populis, progresif, dan mengandalkan pajak dari orang kaya milik Biden bukanlah proposal baru dari Gedung Putih.
Sejak ia menjabat pada 2021, Biden dan anggota Kongres dari Partai Demokrat telah berulang kali mengusulkan kenaikan pajak bagi orang terkaya untuk meningkatkan pendapatan. Namun, ide tersebut tidak banyak mengalami kemajuan bahkan ketika Partai Demokrat menguasai kedua majelis Kongres, yaitu DPR dan Senat.
Setelah Partai Republik mengambil alih mayoritas DPR pada 2023, rencana pajak miliarder dibekukan tanpa batas waktu. Partai Republik mencoba mendahului proposal anggaran Biden minggu lalu dengan meloloskan resolusi anggaran mereka sendiri untuk 2025 dalam pemungutan suara komisi DPR AS.
Proposal tersebut bertujuan untuk mengurangi defisit federal yang membengkak sekitar USD 14 triliun atau Rp 218.135 triliun selama dekade berikutnya, sebagian dengan membatalkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang telah memberikan investasi besar-besaran dalam energi bersih dan ekonomi hijau.
"Partai Republik di Kongres memberikan rancangan ekonomi mereka dimana proyeksi ekonomi yang cerah yang mereka harapkan tidak realistis" kata Young pada hari Senin. "Anggota Kongres dari Partai Republik tidak memberitahu Anda apa yang mereka pangkas, siapa yang mereka rugikan."
Para pemimpin Partai Republik di DPR, termasuk Ketua DPR Mike Johnson dari Louisiana, pada Senin mengecam permintaan anggaran Biden, dan menyebutnya sebagai "Rancangan untuk mempercepat kemunduran Amerika Serikat."
"Besarnya anggaran yang diusulkan Presiden Biden merupakan pengingat mencolok akan nafsu pemerintahan ini untuk melakukan pengeluaran yang sembrono dan pengabaian Partai Demokrat terhadap tanggung jawab fiskal" tulis Johnson dan rekan-rekannya di DPR dalam sebuah pernyataan.
Dua Proposal Anggaran
Dua proposal anggaran yang bersaing tidak mengherankan di Washington yang sangat terpecah belah. Kompromi telah menjadi barang langka selama 2024.
Ketidaksepakatan yang bolak-balik di Kongres menandakan enam bulan memasuki tahun fiskal, anggota Kongres masih belum menetapkan anggaran permanen.
Selama enam bulan terakhir, pertempuran sengit di Kongres menyebabkan beberapa penutupan pemerintah nyaris terjadi, dan membuat mantan Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy kehilangan pekerjaannya.
Sementara itu, pemerintah tetap menjaga melalui tagihan pengeluaran sementara.
Akhirnya, pada akhir Februari, anggota parlemen mencapai kesepakatan untuk menganggarkan USD 460 miliar atau Rp7.167 triliun untuk mendanai setengah dari pemerintah selama sisa tahun fiskal. Pendanaan untuk separuh lainnya harus diselesaikan sebelum 22 Maret atau pemerintah akan mengalami shutdown sebagian.
Terlepas dari disfungsi tersebut, Biden tidak mengurangi bagian mana pun dari permintaan anggaran progresifnya untuk tahun 2025, meskipun hal itu mungkin membuat Kongres yang terpecah lebih mudah untuk menerimanya.
Advertisement
Upaya Biden Agar Terpilih Lagi
Tahun ini, anggaran tersebut juga mewakili platform ekonomi Biden untuk kampanyenya pada 2024. Dalam upayanya agar dapat terpilih lagi, tidak ada tanda-tanda melunaknya kampanye tekanannya terhadap orang-orang kaya.
"Partai Republik akan memangkas jaminan sosial dan memberikan lebih banyak pemotongan pajak untuk orang kaya," ujar Biden dalam pidato kenegaraannya pada Kamis.
"Saya akan melindungi dan memperkuat jaminan sosial dan membuat orang-orang kaya membayar bagian mereka yang adil!," ia menambahkan.
Berbagai survei terbaru membuktikan sentimen pemilih tentang ekonomi Biden mulai menunjukkan tren positif setelah berbulan-bulan mendapatkan peringkat persetujuan yang suram.
Dalam survei Wall Street Journal yang dilakukan pada bulan Februari, Biden mendapatkan nilai tertinggi dalam bidang ekonomi selama masa kampanye. Empat puluh persen pemilih menyetujui kebijakan ekonominya, meningkat 4 poin dari pertanyaan yang sama di bulan Desember.
Namun, Biden masih harus mengatasi ketertinggalannya untuk bersaing dengan persepsi pemilih mengenai ekonomi Trump.
Dalam jajak pendapat CBS/YouGov yang juga dilakukan pada bulan Februari, 55% responden survei mengatakan bahwa kebijakan Biden akan meningkatkan berbagai harga sementara hanya 34% yang mengatakan hal yang sama tentang kebijakan Trump.
Bentuk Komisi Khusus
Sementara itu, kampanye pemilihan kembali Biden berupaya untuk mencoba meyakinkan para pemilih bahwa lonjakan biaya hidup pasca-pandemi, pada kenyataannya, hanyalah produk dari taktik penetapan harga perusahaan yang tidak adil, sama seperti yang telah ditindak oleh pemerintahan Biden pada tahun lalu.
Minggu lalu, Biden mengumumkan peluncuran "Strike Force on Unfair and Illegal Pricing” atau “Komisi Khusus Pemberantasan Harga Ilegal dan Curang”, sebuah kelompok yang akan dipimpin bersama oleh Komisi Perdagangan Federal dan Departemen Kehakiman. Tujuannya adalah untuk menekan perusahaan-perusahaan untuk menurunkan harga.
"Presiden Biden sudah muak dengan praktik-praktik perusahaan yang secara tidak adil menaikkan harga bagi konsumen," kata Direktur Dewan Ekonomi Nasional Lael Brainard kepada para wartawan minggu lalu. "Dan dia sedang bertindak"
Advertisement