Sukses

Ditanya Kerugian Negara soal Korupsi Timah, Menteri ESDM: BPK yang Bisa Jawab

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif enggan menaksir besaran keriguan negara atas kasus dugaan korupsi timah.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif enggan menaksir besaran keriguan negara atas kasus dugaan korupsi tata niaga timah dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Menurutnya, ada lembaga negara yang berhak menentukan nilai tersebut.

Arifin mengaku tak ingin gegabah dalam menghitung kerugian negara. Alhasil, dia tak mengungkap potensi kerugian yang membebani negara.

"Kita kan gak mau ada hitungan macam-macam," ucap Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (5/4/2024).

Potensi Kerugian Rp 271 Triliun

Diketahui, sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menggandeng ahli lingkungan asal Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo untuk menghitung potensi kerugian. Dalam hitungannya, didapat angka Rp 271 triliun.

Angka ini merujuk pada kerugian ekonomi atas kondisi ekologis yang terdampak dari penambangan. Sementara, kerugian negara atas kasus dugaan korupsi itu disebut masih perlu didalami.

Dia menegaskan, hitungan kerugian negara itu ada di tangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Kan yang berhak, wajib menghitung, siapa? BPK," tegasnya.

 

2 dari 3 halaman

Buka Suara

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka suara terkait kasus dugaan korupsi tata niaga dalam kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Dia menilai perlu ada pendalaman lebih lanjut terkait kasus tersebut.

Arifin menilai, kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan perekonomian negara sebesar Rp 271 triliun itu merupakan ranah korporasi. Kementerian ESDM dalam hal ini berurusan dengan kaitannya pada perizinan tambang.

"Ya kan itu korporasi ya. Kalau kita kan hanya berkait dengan perizinan pertambangan. Cuman memang kita memang perlu lebih dalam lagi," ucap Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (5/4/2024).

Menurutnya, dalam menangani kasus ini perlu kerja sama antarinstansi. Harapannya, bisa dilakukan secara komprehensif.

Dia menyebut, sebagai langkah antisipasi kedepannya diperlukan adanya pendataan komoditas mineral seperti timah. Saat ini pendataan itu baru berlaku untuk batu bara.

 

3 dari 3 halaman

Pendataan di SIMBARA

Sistem itu merujuk pada Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (Simbara). Rencana paling dekat, sudah akan masuk pendataan untuk nikel. Dia tak menutup kemungkinan ada jenis mineral lain yang ikut masuk untuk pendataan.

"Ya, itu memang kita haruskan baru batu bara. Sekarang baru mau masuk nikel, dan segera kita masukin lagi yang lain-lain, mineral yang lain. Sehingga material itu, mineral itu barangnya itu ketahuan dari mana asalnya," tuturnya.

"Iya, tercatat dengan baik. Sekarang kita lagi pembenahan kan? Ya, sejak dari daerah ke pusat ini kan tuh yang banyak yang harus dibenahin. Iya, data-datanya. Itu harus kita sempurnakan. Sehingga ke depannya betul-betul governance-nya bisa (ditingkatkan)," pungkas Arifin.