Sukses

Usai Serang Israel, Rial Mata Uang Iran Anjlok ke Level Terendah

Mata uang Iran, Rial anjlok ke rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

Liputan6.com, Jakarta Mata uang Iran, Rial anjlok ke rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) di pasar tidak resmi setelah Teheran melancarkan serangan rudal dan drone secara besar-besaran ke Israel pada Sabtu (13/4) malam. Serangan balasan Iran ini memperburuk ketegangan di Timur Tengah.

Melansir CNBC.com, nilai tukar Rial berada pada 705.000 rial/USD di pasar terbuka sekitar pukul 10.30 waktu setempat pada hari Minggu (14/4), menurut data dari situs pemantauan valuta asing Bonbast. 

Adapun, pemerintah Iran menetapkan nilai tukar resmi sebesar 42.000 Rial/USD pada tahun 2018.

"Penurunan nilai rial terjadi beberapa jam setelah Iran mengerahkan serangan drone dan rudal besar-besaran terhadap Israel pada Sabtu malam, sebagai tanggapan atas dugaan serangan Israel yang menewaskan beberapa komandan penting Iran di Damaskus awal bulan ini," tulis CNBC, dikutip Selasa (16/4).

Di sisi lain, serangan langsung pertama Iran ke wilayah Israel ini membuat Teheran menghadapi risiko terkena pembatasan perdagangan dan diplomatik lebih lanjut dari dunia internasional. Khususnya Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya, Rial Iran sudah menghadapi tekanan dari inflasi yang sangat tinggi yang dipicu oleh sanksi AS yang diterapkan pada masa pemerintahan Donald Trump. Sanksi AS itu telah mengurangi penjualan beberapa ekspor utama Teheran – minyak mentah dan produk minyak.

Sementara itu, Israel telah menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB mengenai serangan hari Sabtu itu. Adapun, Presiden Joe Biden telah meminta untuk mengadakan pertemuan G7 pada hari Minggu (14/4).

 

2 dari 4 halaman

Rupiah

Sebelumnya, mata uang Rupiah juga ikut melemah akibat serangan balasan Iran ke Israel. Berdasarkan data pasar spot luar negeri (Trading Economics), nilai tukar Rupiah berada di level Rp16.060 per USD atau mengalami apresiasi 0,31 persen secara harian (date to date/dtd) pada Senin (15/4).

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim pelemahan nilai tukar Rupiah akibat konflik Iran dan Israel masih lebih baik dibandingkan mata uang negara kawasan Asia Pasifik.

"Nilai tukar Rupiah lebih baik dibandingkan negara- negara lain seperti Korea, Filipina, dan Jepang," kata Airlangga dalam keterangannya Selasa (16/4).

Mayoritas nilai tukar di Kawasan Asia Pasifik juga ikut bergerak melemah terhadap US Dollar pada perdagangan Senin (15/04). Misalnya Baht Thailand dan Won Korea terdepresiasi sebesar 0,24 persen (dtd), dan Ringgit Malaysia sebesar 0,24 persen (dtd).

 

3 dari 4 halaman

Iran Vs Israel, Harga Minyak Siap-Siap Tembus USD 100 per Barel

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, memproyeksikan Indonesian Crude Oil Price akan mengalami tekanan imbas dari konflik antara Iran dengan Israel.

Menurutnya, konflik tersebut berpotensi dapat mendorong ICP naik dikisaran USD 5 - 10 per barel. Sehingga, kemungkinan potensi harga minyak ICP tembus USD 100 per barel bisa terjadi.

"Jadi, ini masih pendapat dan kajian dari kami. Jadi, kalau harga minyak (ICP) dugaan kami akan ada tekanan untuk naik dan tekanan untuk naik itu diwujudkan dalam premium resiko itu kalau menurut pendapat kami 5-10 USD per barel. Jadi, kalau sekarang kan USD 90 per barel,jadi kalau menurut kami memang untuk naik mendekati USD 100 per barel kayaknya bisa terjadi," kata Tutuka saat ditemui usai menghadiri Halalbihalal di Kementerian ESDM, Selasa (16/4/2024).

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian ESDM, ICP per 12 April 2024 sebesar 89,51 dolar AS per barel. Tercatat sebelum adanya serangan Iran terhadap Israel, kata Tutuka, harga minyak sudah mengalami peningkatan kurang lebih USD 5 per barel tiap bulannya.

Lebih lanjut, Tutuka menjelaskan, Indonesia sendiri memang masih impor minyak mentah dan BBM. Dengan demikian, jika harga minyak mentah dunia meningkat maka akan berdampak pada harga impor minyak dan BBM itu sendiri.

"Kan kita impor crude sama impor BBM. Otomatis kalau impor crude pasti naik kan, BBM akhirnya naik juga. Kita impor BBM itu sebagian besar dari Singapura dan Malaysia. Itu yang sedang disimulasikan, kita minta Pertamina untuk mensimulasikan akibatnya apa," jelasnya.

 

4 dari 4 halaman

Naik dan Turun Lagi

Kendati ICP diproyeksikan akan naik, namun diproyeksikan akan turun lagi. Hal itu dilihat dari tensi konflik antara Iran dengan Israel. Jika terus memanas maka dampaknya terhadap kenaikan harga ICP tak akan terbendung lagi.

"Tapi kalau menurut saya kenaikan itu kemungkinan spike terus turun lagi, tapi kita tidak boleh lengah, karena dalam kondisi seperti ini sedikit saja salah bisa jadi besar, itu yang tidak bisa kita semua negara-negara manapun juga bisa mengkondisikan semua berjalan lancar karena ada mistake dan accident saja bisa timbul, jadi kita mesti siap-sipa kemungkinan terburuk," pungkasnya.