Liputan6.com, Jakarta Kawasan Asia Tenggara dinilai “sangat keluar jalur” atau tertinggal dalam investasi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi, dan memerlukan kebijakan baru serta mekanisme keuangan untuk membantu menjembatani kesenjangan tersebut.
Hal itu diungkapkan dalam laporan tahunan yang disusun oleh perusahaan konsultan global, Bain & Company, GenZero dan bank Standard Chartered.
Baca Juga
Mengutip Channel News Asia, Selasa (16/4/2024) laporan itu mengatakan bahwa konsumsi energi di Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh sebesar 40 persen pada dekade ini, emisi karbon dioksida akibat pemanasan iklim masih terus meningkat, dan masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Advertisement
Meskipun investasi ramah lingkungan di Asia Tenggara tumbuh 20 persen pada 2023 lalu, angka tersebut masih jauh dari kebutuhan sebesar USD 1,5 triliun pada dekade ini, dan emisi di 10 negara di kawasan ini dapat melampaui komitmen mereka pada tahun 2030 sebesar 32 persen jika mereka terus melanjutkan tren yang ada saat ini.
“Kami percaya bahwa percepatan upaya yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan investor sangat penting karena Asia Tenggara masih berada di luar jalur yang benar,” kata Kimberly Tan, direktur pelaksana GenZero.
GenZero mencatat, energi ramah lingkungan hanya menyumbang 10 persen dari total pasokan energi di Asia Tenggara, dan subsidi bahan bakar fosil lima kali lebih tinggi dibandingkan investasi energi terbarukan.
Biaya modal yang tinggi, serta peraturan jaringan listrik dan tarif yang tidak menentu, juga mempersulit pendanaan proyek energi terbarukan.
Sementara itu, hanya empat dari 10 negara di kawasan ini yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam yang telah mencapai kemajuan dalam menentukan harga karbon.
Diperlukan Penekanan Kebijakan dan Insentif
Maka dari itu, laporan tersebut menyerukan lebih banyak kebijakan dan insentif, kerja sama regional yang lebih besar, dan fokus berkelanjutan pada teknologi yang sudah dapat diterapkan.
“Kabar baiknya adalah Asia Tenggara masih sangat awal dalam perjalanan dekarbonisasi, sehingga mereka mendapat manfaat dari banyaknya upaya untuk mengurangi emisi saat ini,” kata Tan.
Banyak di antaranya merupakan buah hasil yang mudah didapat,” ujar dia.
Laporan tersebut mengidentifikasi 13 “ide yang dapat diinvestasikan” yang dapat menghasilkan pendapatan sebesar USD 150 miliar pada tahun 2030, termasuk pertanian berkelanjutan dan pembangkit listrik energi terbarukan berskala utilitas.
Advertisement