Sukses

Beban APBN Berat karena Perang Iran Vs Israel, Ekonom Singgung Program Makan Siang Gratis Terlalu Konsumtif

belanja produktif yang perlu dijalankan pemerintah di tengah memanasnya situaqsi geopolitik seharusnya mengarah pada munculnya geliat sektor bisnis. Dengan begitu pergerakan ekonomi nasional bisa tetap terjaga.

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economoc and Finance (INDEF) menyoroti dampak memanasnya konflik Iran dan Israel yang mengerek harga komoditas. Hal ini dikhawatirkan turut membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan APBN bisa terbebani dari tingginya harga komoditas. Maka, diperlukam upaya penghematan dari belanja yang menggunakan kas negara.

Esther menilik sejumlah belanja pemerintah perlu diarahkan pada sisi yang produktif alih-alih belanja pada pos yang konsumtif. Dia menyoroti salah satu yang dinilai konsumtif adalah anggaran bagi program makan siang gratis.

"Sehingga yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu yang pertama adalah melakukan melihat lagi berbagai anggaran belanja agar lebih efektif diarahkan ke belanja-belanja yang produktif yang tak hanya konsumstif, seperti makan siang gratis, itu saya rasa belanja yang konsumtif ya," jelas Esther dalam diskusi Indef, Sabtu (20/4/2024).

Dia berharap, belanja produktif yang dilakukan pemerintah mengarah pada munculnya geliat sektor bisnis. Alhasil pergerakan ekonomi nasional bisa tetap terjaga.

"Tetapi lebih baik diarahkan ke belanja yang produktif yang bisa men-generate income atau produktivitas dari sektor bisnis. Kemudian dan berdampak jangka panjang," tegasnya.

"Kalau belanja pemerintah ini bisa diarahkan ke belanja yang lebih produktif saya rasa akan membuat pertumbuhan ekonomi kita lebih sustain, lebih terpantau dalam jangka panjang," sambung Esther.

2 dari 2 halaman

Defisit APBN

Esther menjelaskan, kenaikan harga minyak dunia akan berpengaruh pada biaya transportasi. Alhasil akan merembet pada kenaikan harga-harga barang lainnya.

"Karena kenaikan harga minyak tinggi maka kalau bicara APBN kan ada yang namanya asumsi makro, indikator makro ekonomi. Nah ini pasti akan berdampak pad aprmvrngkakan biaya-biaya atau anggaran, besaran anggaran yang ada di APBN," urainya.

Dia mencatat, adanya beban itu akan membuat adanya defisit APBN. Besarannya ditaksir sekitar 2-3 persen. Maka, diperlukan upaya untuk mengatur kembali penggunaan anggaran ditengah kondisi geopolitik global ini.

"Nah sehingga karena adanya kenaikan harga minyak ini diprediksi akan ada defisit fiskal sebesar 2-3 persen. Apa yg terjadi? Kalau kita tidak bisa memanage anggaran yang ada di APBN jadi kemungkinan fiscal space kita akan jauh lebih kecil lagi," pungkasnya.