Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa perekonomian Indonesia tetap bertahan di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I dan II tahun 2024 diperkirakan akan lebih tinggi dari kuartal IV tahun 2023.
Baca Juga
Proyeksi ini didukung oleh permintaan domestik yang tetap kuat dari konsumsi rumah tangga sejalan dengan Ramadhan dan Idul Fitri 1445H.
Advertisement
"Investasi bangunan lebih tinggi dari prakiraan, ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan berkembangnya properti swasta sebagai dampak positif dari insentif Pemerintah," kata Perry dalam konferesi pers Hasil RDG Bulanan dengan Cakupan Triwulanan, disiarkan pada Rabu (24/4/2024).
Meskipun demikian, konsumsi rumah tangga dan investasi non bangunan perlu terus didorong untuk mendukung berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional.
"Sementara itu, kinerja ekspor barang belum kuat dipengaruhi oleh penurunan ekspor komoditas sejalan dengan harga komoditas yang turun dan permintaan dari mitra dagang utama, seperti Tiongkok, yang masih lemah. Berdasarkan Lapangan Usaha (LU), sektor Industri Pengolahan, Informasi dan Komunikasi, Perdagangan Besar dan Eceran, serta Konstruksi diprakirakan tumbuh kuat," paparnya.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah tetap baik, didukung oleh permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga.
"Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7-5,5%," ungkap Perry.
Dia menambahkan bahwa, ke depan, BI akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah, termasuk melalui stimulus fiskal Pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia, guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, khususnya dari sisi permintaan domestik.
Dinamika Ekonomi Global Berubah Cepat
Dalam kesempatan itu, BI juga mengingatkan, dinamika ekonomi dan keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System.
"Perkembangan ini dan besarnya kebutuhan utang AS mengakibatkan terus meningkatnya yield US Treasury dan penguatan dolar AS semakin tinggi secara global. Semakin kuatnya dolar AS juga didorong oleh melemahnya sejumlah mata uang dunia seperti Yen Jepang dan Yuan China," jelas Perry.
Selain itu, ketidakpastian juga diperburuk dengan eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Advertisement
Investor Beralih ke Safe Haven
Akibat dari itu, investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
"Ke depan, risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global akan terus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, meningkatnya tekanan inflasi, dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia," kata Perry.
Ia menambahkan, "kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia"