Liputan6.com, Jakarta - Terjadi tren di perusahaan Indonesia yang membesar-besarkan titel atau jabatan pekerjaan dalam periode setahun terakhir. Berdasarkan sebuah riset terjadi peningkatan 27% mereka yang memiliki jabatan dengan titel Direktur dan Manajer yang ditujukan bagi para profesional dengan pengalaman kerja dua tahun.
Umumnya, perusahaan melakukannya sebagai upaya untuk menarik dan mempertahankan talenta atau karyawan. Namun, upaya ini sebenarnya memiliki tingkat keberhasilan yang terbatas dan dapat menimbulkan masalah baik bagi perusahaan maupun karyawan.
Baca Juga
Ini merupakan hasil pengamatan oleh Robert Walters Indonesia mengenai tren inflasi jabatan (job title inflation).
Advertisement
Inflasi jabatan merujuk pada praktik perusahaan yang memberikan titel pekerjaan dengan cara dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan, yang mungkin tidak secara akurat mencerminkan tanggung jawab, senioritas, atau bahkan gaji yang sebenarnya pada posisi tersebut.
Pendekatan Inflasi Jabatan untuk Menarik dan Mempertahankan Talenta.
Country Head di Robert Walters Indonesia Eric Mary menjelaskan, tidak dapat disangkal bahwa titel pekerjaan dan promosi memiliki peran penting dalam kehidupan para pekerja profesional.
Menurut survei LinkedIn yang dilakukan oleh Robert Walters Indonesia pada Januari, 90% pekerja profesional sepakat bahwa jabatan pekerjaan merupakan faktor yang penting atau sangat penting saat mereka melamar untuk suatu posisi pekerjaan.
"Di antara para pekerja profesional muda, sebanyak 53% dari mereka berharap untuk mendapatkan promosi dalam waktu 12 bulan setelah bergabung dengan perusahaan," kata dia.Â
Sebanyak 56% perusahaan yang berpartisipasi dalam survei menyatakan bahwa mereka telah menerapkan strategi inflasi jabatan sebagai bentuk promosi untuk menarik talenta. Menariknya, hanya 11% dari perusahaan tersebut yang tidak melihat adanya perubahan signifikan.
Â
Punya Tantangan
Meski demikian, penggunaan jabatan yang dibesar-besarkan memiliki tantangan tersendiri, di mana para profesional mungkin tidak menganggapnya sebagai indikator senioritas yang signifikan.
Berdasarkan hasil temuan Robert Walters Indonesia, faktor-faktor seperti kemampuan mengelola tim (56%) dan persepsi mengenai pentingnya peran tersebut (23%) dianggap sebagai indikator senioritas yang lebih utama, sementara hanya 21% yang meyakini bahwa gelar C-suite atau kepala departemen mencerminkan senioritas.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jabatan yang dibesar-besarkan mungkin terlihat menarik pada awalnya, faktor-faktor seperti kepemimpinan tim dan persepsi mengenai pentingnya peran tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan senioritas daripada sekadar memiliki jabatan yang bergengsi.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk menjaga transparansi mengenai peran dan tanggung jawab yang sebenarnya terkait dengan suatu posisi guna menghindari kebingungan.
Â
Advertisement
Praktik Umum
Eric Mary melanjutkan, dalam pasar kerja yang kompetitif saat ini, praktik inflasi jabatan menjadi hal yang umum terjadi, meskipun tidak di semua industri.
"Menggunakan jabatan yang dibesar-besarkan dapat menjadi faktor motivasi bagi karyawan untuk mempertimbangkan langkah karir selanjutnya. Hal ini memiliki potensi untuk menciptakan dampak positif, seperti mengurangi stereotip gender dan bias lainnya, serta mengompensasi gaji yang lebih rendah. Namun, penting bagi organisasi untuk melakukannya dengan hati-hati agar tetap menjaga transparansi, serta dapat menarik kandidat yang sesuai dengan posisi tersebut."kata dia.Â
Robert Walters Indonesia menyarankan manajer perekrutan untuk melakukan evaluasi yang cermat sebelum memutuskan untuk menerapkan pendekatan inflasi jabatan. Meskipun ada alasan yang valid untuk mempertimbangkan pendekatan ini, penting untuk mempertimbangkan secara menyeluruh pro dan kontra serta memahami potensi dampak jangka panjangnya terhadap organisasi.