Sukses

Batu Bara Dikurangi, 32 Ribu Pekerja PLTU Terancam?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan tantangan Indonesia sebagai penghasil batu bara, dalam hal pergeseran peluang pekerjaan baru bagi para pekerja tambang dan pembangkit listrik tenaga fosil.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan tantangan Indonesia sebagai penghasil batu bara, dalam hal pergeseran peluang pekerjaan baru bagi para pekerja tambang dan pembangkit listrik tenaga fosil.

Arifin mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang membutuhkan sumber energi yang besar. Karena energi per kapita Indonesia tergolong rendah, yakni 5,8 BOE perkapita apabila dibandingkan dengan negara maju dengan minimal energi per kapita sebesar 17 BOE.

Hingga saat ini, energi fosil masih mendominasi kebutuhan energi di Indonesia, yakni 87 persen di 2023. Adapun energi dari batu bara masih menjadi yang paling dominan, di samping minyak dan gas bumi yang mendukung sektor industri, gedung, dan transportasi.

"Ketergantungan ini dicerminkan melalui ekonomi sirkular yang signifikan di seluruh value chain, mulai dari pertambangan, pengolahan, distribusi, dan konsumsi, yang menciptakan banyak pekerja yang bergantung pada industri bahan bakar fosil," ujar Arifin dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, Sabtu (27/4/2024).

Komitmen banyak negara untuk mengurangi penggunaan batu bara, menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai negara penghasil batu bara. Lebih dari 267 ribu pekerja industri pertambangan batubara, dan sekitar 32 ribu orang pekerja pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) membutuhkan peluang pekerjaan baru.

Pemerintah Indonesia, menurut Arifin, telah mengimplementasikan berbagai program untuk memastikan peluang pekerjaan berkualitas tinggi selama transisi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan.

 

2 dari 4 halaman

Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang

Program pertama, pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai sumber energi (energy back to energy), seperti perkebunan biomassa, lokasi pembangkit listrik tenaga surya, juga pertanian. Sehingga masyarakat dapat terus mendapatkan manfaat dari bekas lokasi tambang.

"Kami juga mengimbau masyarakat di sekitar PLTU untuk menanam mangrove yang dapat menyerap karbon dalam jumlah besar (50 ton CO2 per hektare per tahun). Implementasi pasar karbon juga akan membuka peluang finansial bagi masyarakat, sembari mengurangi emisi," imbuh Arifin.

Pemerintah juga mendistribusikan sertifikat tanah untuk dapat dikelola oleh masyarakat lokal. Selain itu, pendidikan dan pelatihan teknologi EBT bagi pekerja pembangkit listrik tenaga batu bara untuk meningkatkan kompetensi.

"Di samping itu, Pemerintah juga mewajibkan perusahaan tambang melalui berbagai regulasi untuk melaksanakan program pengembangan masyarakat, seperti pendidikan, keterampilan berwirausaha, dan pembangunan infrastruktur untuk mendukung masyarakat lokal yang mandiri secara ekonomi," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Ekspor Batu Bara RI ke India dan Bangladesh Masih Tinggi, tapi China Melandai

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira melihat tren permintaan ekspor batu bara ke India dan Bangladesh masih tinggi, meskipun dunia tengah beralih menuju transisi energi. Pasalnya, kedua negara masih butuh komoditas energi fisik tersebut untuk pasokan ke PLTU.

Sebaliknya, permintaan dari China yang saat ini jadi pasar ekspor utama batu bara Indonesia cenderung melandai. Pertumbuhan ekonomi yang melandai membuat permintaan batu bara dari Negeri Tirai Bambu tidak sekencang sebelumnya.

"Kalau kita lihat permintaan dari India, Bangladesh trennya masih cukup tinggi. Hanya memang kalau kontraksi pertumbuhan ekonomi di China sendiri tidak seperti sebelumnya, permintaanya landai aja," kata Anggawira di kantornya, Jakarta, dikutip Rabu (24/4/2024).

China Butuh StokChina, kata Anggawira, tengah menyusun persediaan atau inventori stok batu bara di dalam negeri. Sehingga pihak pemerintah di sana lebih bisa mengontrol konsumsi agar tidak terlampau besar.

"Jadi mereka tarik ulur. Kalau harganya ini (tinggi) mereka simpan. Kan mereka sempet kebobolan, mereka masih mau inventori di negara mereka," ungkap dia.

 

4 dari 4 halaman

Green Energy

Anggawira menilai, sebagian besar negara mau tidak mau memang harus berhadapan dengan pemakaian green energy yang tengah digelorakan. Meskipun di sisi lain, konflik geopolitik di Timur Tengah saat ini tidak terlalu memberikan dampak signifikan terhadap ekspor batu bara.

"Karena batu bara ini barang substitusi. Jadi ketika harga minyak dunia, harga gas mengalami tekanan atau peningkatan yang signifikan, pastinya mau enggak mau beralih ke batu bara. Tapi mungkin kalau saya lihat fluktuasinya gak seheboh kemarin ketika situasi covid," urainya.

Begitu pun China, yang memang telah mempersiapkan stok batu bara dalam negerinya guna menghadapi fluktuasi harga di pasar global.

"Di china pun mempunyai suatu strategi inventori yang cukup disiapkan. Jadi mereka punya fungsi kontrol soal harga batu bara internasional," pungkas Anggawira.