Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada pembukaan perdagangan di awal pekan ini. Pelemahan rupiah ini terjadi setelah data PCE Deflator Amerika Serikat (AS) menunjukkan perkembangan disinflasi yang stagnan di AS.
Pada Senin (29/4/2024), nilai tukar rupiah turun 30 poin atau 0,19 persen menjadi 16.240 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.210 per dolar AS.
Baca Juga
"PCE Deflator AS naik ke level 2,7 persen year on year (yoy) dari 2,5 persen yoy, lebih tinggi dari ekspektasi 2,6 persen yoy," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara.
Advertisement
Selain itu, data PCE Deflator yang meningkat didorong oleh PCE Core Deflator yang tercatat sebesar 2,7 persen yoy, lebih tinggi dari estimasi sebesar 2,6 persen yoy.
Data PCE Deflator tersebut mencerminkan bahwa perkembangan disinflasi cenderung melambat, sehingga mendukung ekspektasi bank sentral AS atau The Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan yang tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Saat ini, pasar hanya memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada 2024.
Pada pekan ini, The Fed akan mengadakan pertemuan Federal Open Meeting Committee (FOMC) pada 30 April 2024 dan 1 Mei-24 Mei 2024.
Investor akan menunggu untuk melihat lebih banyak petunjuk dan sinyal kebijakan moneter The Fed untuk tahun 2024.
Josua memprediksi pada perdagangan hari ini rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 16.175 per dolar AS hingga 16.275 per dolar AS.
Rupiah Tembus 16.000 per Dolar AS, Ada Peluang Kembali Perkasa?
Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David E. Sumual menjelaskan masih ada potensi untuk nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS kembali menguat di bawah Rp 16.000.
"Mungkin saja karena perkembangannya sangat dinamis. Kalau saya perhatikan, sekarang mereda ketegangannya kondisi geopolitik di Timur Tengah, indeks dolar juga sedikit menurun, dan harga minyaknya menurun ya,” kata David kepada wartawan usai acara pelatihan jurnalis di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu (28/4/2024).
David menambahkan, nilai tukar rupiah masih bersifat kompetitif jika dibandingkan negara lain. Selain itu dibandingkan dengan negara-negara lain, Rupiah juga masih cukup kuat terhadap Dolar AS.
David membandingkan Rupiah dengan pelemahan nilai tukar mata uang Yen Jepang dan Won Korea terhadap dolar AS yang dibiarkan melemah sekitar 10%, demi mempertahankan daya saing produk ekspornya dengan kompetitor.
Dia menilai, ada aspek fundamental yang perlu diperhatikan seperti ekspor dan impor serta inflasi yang juga harus diperhitungkan dalam memprediksi pergerakan rupiah ke depannya.
“Kita tahu inflasi pangan kita naik cukup tinggi beberapa bulan terakhir. Ini tentu mempengaruhi inflasi ekspor-impor kita itu mempengaruhi juga fundamental rupiah,” ujar David.
Advertisement
Dutch Disease
Selain itu, adanya fenomena Dutch Disease kalau banyak penguatan terjadi dengan satu mata uang, itu bisa mengganggu juga ekspornya dalam jangka panjang.
"Ini perlu diperhatikan juga supaya juga untuk di luar komoditas juga kita tetap bersaing,” pungkas David.