Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) bakal menambah insentif likuiditas makroprudensial sebesar Rp 81 triliun kepada perbankan.
Kepala Grup Sektor Keuangan Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Nugroho Joko Prastowo mengatakan, insentif ini diperuntukkan kepada bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada sektor tertentu.
Baca Juga
Insentif yang diberikan oleh bank sentral ini berupa pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro wajib minimum (GWM). Adapun sektor yang akan menerima pendanaan bertambah dengan memperluas cakupan sektor prioritas.
Advertisement
“Sektornya yakni sektor penunjang hilirisasi, konstruksi dan real estate produktif, ekonomi kreatif, otomotif, perdagangan, Listrik Gas-Air Bersih (LGA), dan jasa sosial,” kata Joko dalam acara pelatihan jurnalis di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu (28/4/2024).
Adapun sektor tambahan ini akan mulai mendapatkan insentif pada 1 Juni 2024 mendatang, besaran insentif yang diberikan tetap sebesar 4%.
“Sektor ini dipilih karena bisa memberikan daya ungkit ekonomi dan tidak berisiko, mendukung ekonomi hijau serta program pemerintah,” pungkas Joko.
Pelemahan Rupiah Bakal Separah Krisis 1998 dan 2008? Ini Prediksi Bank Indonesia
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan usai Hari Raya Idul Fitri. Saat ini, rupiah berada di kisaran 16.200 per dolar AS dari sebelumnya stabil di 15.600 per dolar AS.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juli Budi Winantya menjelaskan, pelemahan rupiah ini tak perlu ditakutkan. Ia memastikan bahwa pelemahan rupiah ini tidak seburuk krisis ekonomi 2008 maupun krisis moneter 1998.
Nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi 5,07 persen secara year to date (ytd) per 23 April 2024. Sementara pada krisis ekonomi 2028 nilai tukar Rupiah melemah hingga 35 persen. Bahkan, pada krisis moneter tahun 1998 nilai tukar Rupiah melemah hingga 197 persen.
"Sekarang depresiasi (eupiah) hanya 5,07 persen, dibandingkan krisis-krisis sebelumnya yang pelemahan Rupiah lebih dalam," kata Juli dalam acara Pelatihan Wartawan di Pulau Samosir, Sumatra Utara, ditulis Minggu (28/4).
Selain itu, laju inflasi di tengah tren pelemahan nilai tukar Rupiah juga masih terjaga. BI mencatat, laju inflasi mencapai level 3,05 persen secara year on year (yoy) per Maret 2024.
Adapun, pada krisis ekonomi 2008 laju inflasi melonjak hingga 12,1 persen. Bahkan, laju inflasi di era krisis moneter pada 1998 silam mencapai 82,4 persen.
Advertisement
Cadangan Devisa
Selanjutnya, cadangan devisa juga meningkat signifikan dibandingkan krisis ekonomi 2008 maupun krisis moneter 1998 silam. Per Maret 2024, cadangan devisa Indonesia mencapai USD 140,4 miliar.
"Cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri," bebernya.
Juli menyebut, terjaganya stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah tren penguatan dolar AS disebabkan oleh bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang terus diperkuat Bank Indonesia.
Antara lain peningkatan stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Bank Indonesia juga terus melakukan inovasi-inovasi untuk mengeluarkan instrumen-instrumen baru untuk dapat meredam tekanan-tekanan terhadap nilai tukar Rupiah," imbuh Juli mengakhiri.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com