Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat tinggi pada perdagangan Jumat hari ini. Bisakah rupiah tinggalkan level 16.000 per dolar AS?
Pada pembukaan perdagangan Jumat (3/5/2024), nilai tukar rupiah menguat 108 poin atau 0,67 persen menjadi 16.077 per dolar AS, dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 16.185 per dolar AS.
Baca Juga
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menjelaskan, rupiah masih bisa menguat di Jumat ini seiring pasar menyambut positif pernyataan Gubernur bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell.
Advertisement
“Pasar masih menyambut positif pernyataan Jerome Powell, Gubernur bank sentral AS, pascarapat kebijakan moneter yang mengisyaratkan tidak adanya kenaikan suku bunga acuan AS tahun ini,” kata dia dikutip dari Antara.
Indeks dolar AS juga terlihat menurun pagi ini dari 105,25 menjadi 105,77.
Ariston juga menilai data inflasi Indonesia pada April 2024 yang baru dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis 2 Mei 2024 masih terjaga di kisaran target Bank Indonesia (BI), yakni 3,0 persen. Hasil ini dinilai dapat memberikan sentimen positif untuk rupiah.
“Potensi penguatan rupiah ke kisaran 16.100 per dolar AS hari ini, dengan potensi resisten di sekitar 16.200 per dolar AS,” ucapnya.
Untuk malam ini, data Non-Farm Payroll (NFP) dan tenaga kerja lainnya akan dipublikasikan. Jika menguat, lanjutnya, maka dolar AS turut akan menguat.
Sebelumnya, data tenaga kerja AS yang dirilis hari Rabu 1 Mei dan Kamis 2 Mei menunjukkan datanya masih bagus. Misalnya data Automatic Data Processing (ADP) Non Farm Payrolls yang sebesar 192 ribu dari prediksi 179 ribu.
“Data malam nanti bisa memberikan sentimen baru untuk pergerakan rupiah pekan depan. Data dari AS masih menjadi anchor pergerakan USD-IDR,” ungkap Ariston.
Pada pekan depan, terdapat pula data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan data neraca perdagangan China.
“Ini bisa memberikan sentimen positif (terhadap rupiah) kalau datanya bagus,” ujar dia.
Pengusaha Lebih Takut Suku Bunga Naik Ketimbang Rupiah Ambrol, Ini Alasannya
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menilai dampak kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) jauh lebih memberatkan ketimbang pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pernyataan ini merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25 persen pada April 2024.
"Jadi, dampak suku bunga menurut saya lebih besar dari dampak kenaikan dolar AS," kata Budi kepada awak media di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (2/5).
Budie menerangkan, kenaikan suku bunga oleh BI akan memberikan sederet dampak rambatan terhadap pelaku usaha ritel. Pertama, nilai bunga pinjaman dari perbankan akan mengalami kenaikan.
Kedua, biaya sewa maupun cicilan di pusat perbelanjaan juga akan naik mengikuti penyesuaian suku bunga BI. Kondisi ini tentu akan memberangkatkan pelaku usaha di tengah tren ancaman ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
"kalau trafic (penjualan) bagus dan ramai mungkin gal terlalu kena (dampak)karena masih bisa diserap dari mixed margin. Tapi yang saya khawatir traficnya (penjualan) juga turun," bebernya.
Advertisement
Tak Langsung Terdampak
Sebaliknya, dampak penguatan dolar AS sendiri tidak secara langsung dirasakan oleh pelaku usaha. Selain itu, penguatan dolar AS juga akan mendorong wisatawan asing untuk berkunjung dan berbelanja aneka produk UMKM di Indonesia.
"Hitung-hitungan (turis asing) daripada ke Vietnam mending ke Indonesia karena harga murah dan dolarnya lagi kuat ya," ucapnya.
Atas kondisi tersebut, pelaku usaha terus melakukan efisiensi terhadap pengeluaran kas perusahaan. Cara ini ditempuh untuk memastikan arus keuangan perusahaan tetap sehat.
"Kami juga melakukan pencarian suplier seperti ini, cari suplier baru yang lebih mudah kalau dulu mungkin belinya mahal, mungkin hari ini kita ketemu suplier baru jadi lebih murah. Jadi ada margin-margin tambahan," imbuhnya mengakhiri.