Sukses

Aturan Tembakau di RPP Kesehatan, APRINDO Sebut Ada Poin yang Rugikan Pengusaha Ritel

Ketua Umum APRINDO, Roy Nicholas Mandey mengatakan, terkait aturan tembakau di RPP Kesehatan, terdapat beberapa poin yang meresahkan bagi para pengusaha ritel.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menggelar forum diskusi dan melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI). 

Acara ini turut dihadiri oleh Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) untuk membahas terkait kebijakan pemerintah mengenai pengaturan penjual produk tembakau yang tertera pada aturan tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 17 Tahun 2023.

Terkait pembahasan kebijkan pemerintah tersebut, APRINDO bersama GAPRINDO juga berkomitmen penuh untuk mendukung penerapan pengaturan penjualan produk tembakau yang efektif, khususnya untuk pembatasan pembelian hanya untuk orang dewasa yang berusia di atas 18 tahun sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini.

Ketua Umum APRINDO, Roy Nicholas Mandey mengatakan, terkait aturan tembakau di RPP Kesehatan, terdapat beberapa poin yang meresahkan bagi para pengusaha ritel, yakni adanya pengetatan penjualan dalam parameter tertentu yang akan menimbulkan ketimpangan, diskriminatif, dan berdampak negatif kepada kepastian berusaha.

Namun, hingga saat ini, APRINDO juga menyatakan pihaknya belum pernah dilibatkan oleh pemerintah untuk membahas rencana aturan ini.

"Rencana aturan tersebut akan berdampak langsung kepada pengusaha ritel dan kami tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha. Selain itu, apakah implementasi aturan tersebut dapat diukur efektivitasnya di lapangan? Pembatasan penjualan dengan menerapkan parameter tertentu juga rawan pungli dan rentan terhadap pemahaman penegak atau pengawas peraturan di lapangan,” ujar dia, di Jakarta, Kamis (9/5/2024).

Selain itu, Roy menyebut aturan pembatasan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter berpotensi menjadi pasal karet yang multitafsir. Pasal tersebut dinilai akan menggerus sektor perdagangan rokok. 

"Ada satu pasal dalam RPP kesehatan ini yang berkontribusi menggerus sektor perdagangan rokok. Salah satu ayat dari pasal menyampaikan pedagang rokok perlu diatur zonasi, di bawah 200 meter dari tempat pendidikan," sebut Roy.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tunggu Mekanisme

Ia juga mempertanyakan metode penentuan 200 meter yang dimaksud dalam aturan tersebut, termasuk pihak yang berwenang menentukan. Jika poin ini disahkan akses penjualan rokok menjadi semakin sempit.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum GAPRINDO, Benny Wachyudi, juga menegaskan dalam penyusunan aturan tembakau di RPP Kesehatan, asosiasi industri hasil tembakau hingga saat ini tidak pernah dilibatkan dalam pembahasannya. 

Padahal, produk tembakau merupakan produk legal yang dilindungi oleh UU dan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga restriksi ini akan semakin membatasi industri hasil tembakau.

"Maka dari itu, sehubungan dengan (aturan tembakau di) RPP Kesehatan, kami masih menunggu mekanisme yang terbaik dari pemerintah dan siap berpartisipasi, karena selama ini kami belum pernah dilibatkan. Kami berharap pemerintah dapat bijaksana dalam menentukan arah regulasi yang tidak mematikan mata pencaharian, memberikan kepastian hukum, dan mendukung kemudahan berusaha," pungkas Benny.

 

3 dari 4 halaman

Kemenkeu soal RPP Kesehatan: Cukai Rokok Efektif Tekan Konsumsi

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Regulasi ini tengah digodok, dimana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai, kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.

Pengenaan cukai rokok sendiri diatur dalam dua regulasi terpisah. Antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2023 tentang Tarif CHT Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.

Kemudian, PMK 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/2021 tentang Tarif CHT berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

"Dari sisi kami, Kemenkeu meyakini cukai rokok itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi kami melihat dari pengaturan yang ada saat ini, itu sudah cukup memadai," kata Prastowo di Four Seasons  Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Pertimbangkan Berbagai AspekMenurut dia, Kemenkeu sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam menegakkan aturan tersebut. Mulai dari sektor ketenagakerjaan, imbas terhadap sektor industri lain, hingga aspek kesehatan.

"Karena kita kan suka mempertimbangkan berbagai aspek. Contohnya kepekerjaan, lalu keberlangsungan usaha, termasuk switching ke sektor-sektor lain. Itu juga harus kita perhitungkan ya, karena ada roadmap-nya ya.Termasuk tentu yang paling utama adalah kesehatan," terangnya.

Sebagai masukan pada RPP Kesehatan, Prastowo mengatakan, Kemenkeu hanya berwenang untuk urusan teknis seperti mengatur besaran cukai rokok.

"Terkait yang sekarang sudah dilakukan biaya cukai saja.Penindakan terhadap rokok ilegal, lalu mengatur besaran tarif, penggulungan dan sebagainya," ujar Prastowo.

4 dari 4 halaman

Ramai RPP UU Kesehatan Larang Iklan Rokok di Media, Begini Respons Pemerhati

Publik tengah ramai menyoroti aturan larangan iklan rokok atau produk tembakau di media online dan penyiaran yang termaktub dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Kesehatan atau RPP UU Kesehatan.

Pada regulasi khususnya terkait pengamanan zat adiktif yang sedang digodok Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI ini, pihak-pihak yang berkecimpung dalam periklanan rokok merasa dirugikan dengan aturan tersebut.

Pemerhati perlindungan anak, Lisda Sundari dari Yayasan Lentera Anak justru heran dengan kabar soal larangan iklan rokok atau produk tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang (UU) Kesehatan. Sebab, regulasi ini pun masih berupa rancangan, belum disahkan.

"Disebutkan larangan? Enggak kok, cuma pengetatan saja. Yang iklan rokok di televisi, misalnya, jamnya itu diketatkan dari jam 23.00 sampai 03.00, tadinya kan jam 21.30 sampai 05.00. Nah, tapi kan RPP ini belum disahkan, sehingga seolah-olah ini sudah terjadi dan terdampak. Ini salah satu cara untuk melemahkan aturan-aturan pengendalian tembakau," jelas Lisda kepada Health Liputan6.com saat ditemui di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (22/11/2023).

"Misalnya juga soal, oh iklan rokok dilarang di media sosial, ya belum ada aturannya. Jadi kalau bicara dampaknya ya belum ada. Belum ada bukti itu berdampak."

Indonesia Belum Ada Pelarangan Iklan RokokApabila dibandingkan negara lain, lanjut Lisda, sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara di ASEAN yang belum ada pelarangan iklan rokok.

"Kita kalah sama Malaysia, Thailand, Singapura yang sudah melakukan iklan pelarangan rokok secara total. Indonesia tuh belum. Kalau tadi seolah-olah terjadi 'iklan rokok di media dilarang' ya hoaks karena RPP-nya saja belum disahkan," katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini