Liputan6.com, Jakarta Wacana penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 oleh kabinet Prabowo-Gibran tengah mencuat. Jika jadi dilaksanakan, pemerintah disinyalir bakal memformulasikan ulang alokasi dan skema penyerapan anggaran.
Pengamat ekonomi Celios Nailul Huda sebenarnya tidak mempermasalahkan terkait wacana Prabowo-Gibran membentuk kementerian/lembaga baru. Selama, itu tidak menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama di kementerian eksisting.
Baca Juga
"Pembentukan kementerian/lembaga baru bisa memfokuskan apa yang sudah direncanakan dalam program Prabowo," ujar Nailul kepada Liputan6.com, Jumat (10/5/2024).
Advertisement
Begitu pun atas kebutuhan aparatur sipil negara (ASN) atau PNS. Menurut dia, kementerian baru nantinya bisa meminjam sumber daya manusia (SDM) dari instansi yang masih berkaitan. Sehingga kemungkinan pembengkakan anggaran relatif kecil.
"Jika terkait anggaran SDM saya rasa tidak akan signifikan pertambahannya. Biasanya ambil direktorat di kementerian/lembaga saja untuk SDM di kementerian/lembaga baru," imbuh dia.
Kendati begitu, Nailul menyoroti pemanfaatan anggaran yang dipersiapkan untuk 40 menteri tersebut. Pasalnya pemerintah harus menyusun ulang segala kebutuhan, khususnya terkait alokasi APBN.
"Namun tantangannya adalah restrukturisasi di kementerian/lembaga lama serta penyesuaian kementerian/lembaga baru. Ini yang menyebabkan penyerapan anggaran dan realisasi program berjalan lambat," paparnya.
Alhasil, proses itu dinilai akan turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. "Maka saya tidak berharap pertumbuhan ekonomi melesat di awal pemerintahan. Tumbuh di atas 5 persen sudah bagus," pungkas Nailul.
Prabowo Bakal Tambah Jumlah Kementerian Jadi 40, DPR: Harus Lahir dari Kajian Mendalam
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menilai rencana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos di era Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendatang harus dikaji terlebih dahulu.
"Sebagai wacana boleh saja, harus lahir dari sebuah kajian mendalam tentang tantangan masa depan bangsa sehingga diperlukan penambahan portofolio dalam Pemerintahan kabinet mendatang," kata Kamrussamad kepada Liputan6.com, Kamis (9/5/2024).
Selain itu, kata Kamrussamad, mekanisme penambahan menteri harus melalui merevisi UU No.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Dia menuturkan, sebelum menerapkan wacana tersebut, Pemerintah harus membahasnya bersama dengan DPR, dan mendengarkan berbagai kajian akademis, dan menerima masukan dari publik.
"Pemerintah dapat mengajukan ke DPR untuk dibahas bersama sama. Saat itulah kita bisa mendengarkan kajian akademis dan pandangan pemerintah serta mendapatkan masukan dari publik," ujarnya.
Â
Advertisement
Dibenarkan Gerindra
Sebelumnya, wacana tersebut dibenarkan Gerindra, partai penyokong utama pasangan nomor dua. Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.
Salah satunya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai penambahan kementerian/lembaga menjadi 40 merupakan otoritas dari presiden terpilih. Namun begitu, menurut dia, jumlah menteri saat ini sudah cukup.
Rencana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos mencuat usai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.
Salah satunya, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menilai struktur kabinetnya terlalu gemuk alias kebanyakan. Selain itu, dikawatirkan ke depan akan menimbulkan tumpang tindih antar Kementerian yang terkait.
Usulan Ekonom
"Menurut saya terlalu Gemuk kabinetnya, seharusnya kabinet bisa lebih ramping tergantung dari tupoksinya agar tidak tumpang tindih harus dilihat satu per satu kementerian," kata Esther kepada Liputan6.com, Kamis, 9 Mei 2024.
Ia juga menyoroti terkait rencana presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN), tujuannya untuk memusatkan penerimaan negara dari pajak, bea cukai, dan nonpajak lewat satu pintu.
Padahal lebih efisien melanjutkan kementerian yang sudah ada yakni Kementerian Keuangan sebagai induk dari pengaturan keuangan negara.
"Seperti badan penerimaan negara dan kementerian keuangan seharusnya satu saja kementerian keuangan, karena anggaran pengeluaran dan penerimaan bisa jadi satu dalam kementerian keuangan," ujar dia.
Esther menyarankan, daripada membentuk Kementerian-kementerian baru yang membuat anggaran melebar, lebih baik anggarannya digunakan untuk program Pemerintah yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
"Ke depan masih banyak program pemerintah yang harus dilaksanakan sehingga butuh banyak anggaran, sebaiknya lebih efisien. Dengan gemuknya kabinet akan meningkatkan besarnya anggaran untuk kementerian," pungkasnya.
Advertisement