Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya tidak setuju terkait iuran pariwisata jika dibebankan melalui tiket pesawat.
"Kita tidak setuju, bukan tidak setuju dananya, tapi kita tidak setuju proses itu dilakukan lewat tiket, karena nanti ujung-ujungnya masyarakat tahunya harga tiket naik,” kata Irfan kepada wartawan usai acara Dharma Santi Nyepi BUMN, di TMII Minggu (12/5/2024).
Baca Juga
Irfan menambahkan dirinya setuju terkait rencana penggalangan dana pariwisata karena hal tersebut menjadi salah satu cara untuk meningkatkan event tourism. Event-event tersebut menurut dia yang dapat mendorong pergerakan turis.
Advertisement
"Kalau di Indonesia ada event Mandalika, di Singapura ada Taylor Swift, tapi ini jangan lewat harga tiket," ujar dia.
Adapun sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno sempat memberikan tanggapan terkait wacana iuran pariwisata yang berhubungan dengan tiket pesawat.
Menparekraf Sandiaga Uno menjelaskan wacana itu perlu diklarifikasi oleh pemerintah, tentunya dengan menempatkan hal tersebut dalam posisi yang sangat esensial sebab harga tiket pesawat saat ini dinilai sangat mahal.
"Pemerintah tidak akan menambah beban untuk membuat tiket ini mahal," katanya, dilansir dari kanal Bisnis Liputan6.com.
Menparekraf Sandiaga meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir wacana iuran pariwisata melalui tiket pesawat itu, karena pemerintah tidak akan membebani masyarakat yang saat ini mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat.
INACA: Iuran Pariwisata Beratkan Penumpang dan Maskapai
Sebelumnya, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) menilai iuran pariwisata yang sedang digagas akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan.
Seperti diketahui, masyarakat memilih moda transportasi pesawat dengan berbagai macam keperluan, mulai dari perjalanan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau berwisata dan lainnya.
"Dengan demikian tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan," demikian pernyataan Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Ia melihat, tambahan iuran pariwisata dalam komponen tiket akan berpotensi menyebabkan harga tiket menjadi lebih mahal.
Tak hanya penumpang, maskapai juga berpotensi terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket naik.
Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada tahun 2020 sampai 2022 lalu.
Advertisement
Hadapi Kendala
Namun, sejumlah maskapai penerbangan di Indonesia masih menghadapi kendala sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar, jika dibandingkan dengan maskapai internasional.
"Permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan," papar Denon.
Tantangan lainnya, adalah kenaikan biaya operasi karena naiknya harga bahan bakar avtur, dan nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS (USD).
"Padahal sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dolar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya," ujar dia.
Belum Ada Penyesuaian Tarif Imbas Lonjakan Dolar AS
Sementara itu, tarif penerbangan sejak 2019 sampai saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah, meski komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat.
Denon membeberkan contoh, misal untuk kurs USD dari 2019 sebesar Rp14.102,- dan 2024 menjadi Rp. 16.182,- atau meningkat 15%.
"Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini mencapai 87,48 U$D/ barrel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu 64 U$D/ barrel," jelas dia.
"Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai," pungkasnya.
Advertisement