Sukses

Tunggu Aturan Rampung, OJK Bakal Larang 1 Orang Kuasai Banyak BPR

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur batas maksimal seseorang punya Bank Perekomian Rakyat (BPR). Nantinya, satu orang hanya boleh memiliki satu BPR.

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur batas maksimal seseorang punya Bank Perekomian Rakyat (BPR). Nantinya, satu orang hanya boleh memiliki satu BPR.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan pembatasan ini mengikuti arah pemangkasan jumlah BPR kedepannya. Saat ini, tercatat ada sebanyak 1.566 BPR dan BPRS.

"Paling dekat tentu kita nanti setelah ketentuannya keluar kita itu akan menerapkan apa yang disebut single presence policy ya," kata Dian dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan April 2024, Senin (13/5/2024).

"Jadi sekarang satu orang itu tidak boleh memiliki bank lima BPR misalnya, tidak boleh memiliki 10 BPR, tetapi satu orang misalnya itu hanya boleh memiliki satu BPR," imbuhnya.

Dia mengatakan, BPR yang terdampak penggabungan itu akan menjadi cabang dari BPR yang lebih besar. Melalui skema ini, dia menaksir akan memangkas ratusan BPR.

"Jadi itu yang cukup signifikan nanti jumlahnya kami perkirakan berjumlahnya yaa ratusan lah begitu pengurangannya," katanya.

Dia menegaskan, upaya ini akan memperkuat peran dari BPR kepada masyarakat. Sementara, keseluruhan BPR akan ditinjau termasuk dari sisi kecukupan modal.

Dia mengantongi masih banyak yang belum memenuhi jumlah minimal permodalan BPR. Meski, angka yang dipatok untuk modal minimum BPR dinilai tidak terlalu besar.

"Mudah-mudahan dengan penambahan modal yang dilakukan oleh masing-masing pemegang saham maupun juga merger segala sukarela yang dilakukan BPR ini kemudian bisa selesai sekuanya konsolidasi itu. Harapan kita kedepannya bahwa BPR ini akan menjadi community bank atau bank masyarakat yang berfungsi secara optimal," urainya.

 

2 dari 4 halaman

Maksimal Penyehatan 1 Tahun

Lebih lanjut, Dian menegaskan OJK sudah secara maksimal melakukan pengawasan sebelum akhirnya BPR yang dinilai tak mampu bertahan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Tetapi intinya bahwa kita melakukan banyak kewenangan, kita itu sudah meminta penambahan modal, memerintahkan bank melakukan atau tidak melakukan transaksi sesuatu, kemudian meminta pemegang saham menambah modal dan lain sebagainya," kata dia.

Dia menegaskan, upaya penyehatan yang dilakukan OJK memiliki batas maksimal. Paling lama, penyehatan dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun.

"Berdasarkan UU P2SK itu bahwa upaya penyelamatan yang dilakukan oleh OJK itu tidak boleh lebih dari 1 tahun. Jadi kalau 1 tahun tidak berhasil menyelesaikan permasalahan BPR, BPR itu secara otomatis diserahkan kepada LPS," ujarnya.

"Jadi LPS nanti akan memutuskan apakah akan mencabut, berarti dikembalikan kepada kita untuk dicabut izin usahanya, atau kemudian adalah menyelamatkan bank, tergantung kondisi masing-masing BPR setelah satu tahun didalam masa penyehatan oleh kita," pungkas Dian Ediana Rae.

 

3 dari 4 halaman

Lanjutkan Pangkas Jumlah BPR

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan rencana pemangkasan jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) kedepannya. Utamanya menyasar BPR yang tak lagi sehat secara kinerja.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menerangkan, langkah ini dilanjutkan sebagai upaya untuk memperkuat peran BPR di masyarakat.

"Memang arah pengembangan BPR selanjutnya itu berdasarkan hasil analisis dan evaluasi kita memang kita masih akan terus konsolidasi dalam pengertian bahwa penguatan terhadap BPR melalui proses merger penggabungan akuisisi dan lain sebagainya itu akan terus ktia lakukan," ujar Dian dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan April 2024, Senin (13/5/2024).

Secara jumlah, saat ini tersisa ada 1.566 BPR dan BPR Syariah per Maret 2024. Angka ini setelah adanya pengurangan sekitar 66 BPR dan BPRS dari jumlah 1.623 pada 2021 lalu.

 

4 dari 4 halaman

Jumlah BPR

Dia menegaskan, pengurangan jumlah BPR tak akan mengganggu aksesibilitas dari masyarakat terhadap produk-produknya di daerah. Ini terlihat dari pertumbuhan aset, kredit, hingga pengelolaan dana pihak ketiga (DPK).

"Kalau kita lihat pertumbuhan kreditnya 9,42 persen, DPK-nya tumbuh 8,60 persen kemudian aset 7,34 persen," terangnya.

"Jadi memang kalau kita lihat konsolidasi yang kita lakukan juga tidak melakukan penggabungan terus mengurangi kantor, tidak, kantor itu tetap ada tetapi kemudian menjadi kantor cabang," sambungnya.

Kategori BPR atau BPRS yang ditutup juga mengacu pada kinerjanya. Penutupan akan dilakukan utamanya bagi BPR memiliki kinerja buruk secara berkepanjangan. Kemudian, bagi lembaga yang sudah tak lagi dinilai tepat untuk disuntik investor.

"Yang ktia tutup-tutupi adalah BPR-BPR yang sudah secara mendasar tidak mungkin lagi kita rescue, tidak mungkin lagi kita selamatkan. Apakah memang didalamnya ada fraud atau memang kelamaan keuangan yang sangat signifikan sehingga tidak mungkin lagi kita mengundang investor," bebernya.