Liputan6.com, Jakarta Ekonom memperkirakan bahwa pemberlakukan tarif impor baru oleh Amerika Serikat terhadap barang dari China, akan memiliki dampak jangka pendek yang minim terhadap PDB, inflasi dan kebijakan moneter negara itu.
"Tarif yang diumumkan terhadap China oleh pemerintahan Biden menandakan konflik ekonomi musim dingin yang panjang dan dingin antara AS dan China," kata ekonom Joe Brusuelas di RSM US, dikutip dari CNN Business, Rabu (15/5/2024).Â
Baca Juga
Kemudian Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan bahwa pemberlakukan tarif impor barang China oleh Biden kemungkinan tidak akan mempengaruhi kebijakan moneter.
Advertisement
"Tarif tambahan pada dasarnya adalah kesalahan pembulatan inflasi dan PDB, dan tidak berdampak pada kebijakan moneter," tulis Ryan Sweet dalam sebuah catatan, ketika laporan pertama kali mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan tarif AS akan segera dilakukan.
"The Fed tidak akan membuat masalah besar, sehingga tarif tidak akan memberikan amunisi tambahan untuk membenarkan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," jelasnya.
Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.
Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.
Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.
"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.
Â
Â
Beban pada Konsumen
Â
Â
Ryan Sweet melihat, sebagian besar ekonom memandang tarif sebagai ide buruk karena menghambat suatu negara untuk memperoleh manfaat dari spesialisasi, mengganggu pergerakan barang dan jasa, dan menyebabkan misalokasi sumber daya.
"Konsumen dan produsen sering kali membayar harga lebih tinggi ketika tarif diterapkan," katanya.
Hal ini karena tarif mengenakan pajak pada impor ketika barang tiba di negara tersebut, sehingga menambah biaya bagi distributor, pengecer, dan, pada akhirnya, konsumen AS.
Advertisement
Kerugian pada Rumah Tangga
Komisi Perdagangan Internasional AS mengatakan dalam sebuah penelitian pada 2023 lalu bahwa importir AS menanggung hampir seluruh biaya tarif impor yang diberlakukan di masa pemerintahan Donald Trump.
Bank ternama di negara itu, Goldman Sachs menemukan bahwa tarif impor memungkinkan produsen AS dan eksportir non-China yang datang ke pasar AS secara oportunistik juga menaikkan harga.
Adapun The Fed New York yang juga menemukan bahwa tarif impor pada tahun 2018 merugikan rumah tangga AS sebesar USD 419 per tahun karena beban pajak yang lebih tinggi dan hilangnya efisiensi pasar. Para peneliti memperkirakan jumlah tersebut akan meningkat dua kali lipat ketika tarif mulai berlaku pada tahun 2019.
Seiring berjalannya waktu, dampak positif ekonomi menjadi semakin tidak jelas.
Dampak ekonomi bersih dari tarif impor, tarif balasan, dan subsidi pertanian setidakny berdampak negatif, terhadap pekerjaan dan dunia usaha di AS, tulis para ekonom dalam makalah kerja Biro Riset Ekonomi Nasional yang diterbitkan pada bulan Januari. 2024.