Sukses

Heboh Kasus Penganiayaan Taruna STIP, Akademisi: Melatih Mental Bukan dengan Kekerasan

Kasus kekerasan yang dialami taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Putu Satria Ananta Rastika oleh seniornya pada awal Mei 2024 menjadi sorotan publik.

 

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan yang dialami taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Putu Satria Ananta Rastika oleh seniornya pada awal Mei 2024 menjadi sorotan publik. Atas insiden ini, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengeluarkan empat kebijakan baru yang akan diterapkan di STIP, yaitu penghilangan atribut kepangkatan pada seragam, moratorium, tidak wajib asrama untuk tingkat II ke atas, dan mengubah kurikulum.

Wacana kebijakan tersebut mendapat atensi dari Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP). Organisasi yang menghimpun alumni STIP itu membuat Forum Group Discussion (FGD) untuk membahas reformasi pendidikan pelayaran, termasuk mendiskusikan kebijakan baru yang akan diterapkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di STIP pada Jumat 17 Mei 2024.

Dalam paparannya di FGD, Pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Prof. Didin S. Damanhuri mengatakan bahwa sebagian besar luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan. Jika melihat sejarahnya, beberapa kerajaan dan kesultanan di Indonesia pernah berjaya dengan mengunggulkan sektor maritim. Indonesia hari ini harus mencontoh sejarah yang pernah terjadi dan pendidikan pelayaran memiliki peran penting dalam mendukung sumber daya manusianya.

“Industri maritim dan kelautan harusnya menjadi keunggulan Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, kita pasti membutuhkan sekolah dan perguruan tinggi untuk mendukung negara maritim,” kata Didin dikutip Minggu (19/5/2024).

Guru Besar Universitas Negeri Makassar Mohammad Jafar Hafsah mengatakan, pendidikan pelayaran sudah ada sejak tahun 400 M yang dimulai oleh Kerajaan Kutai, kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Samudera Pasai pada abad 13 M. Kini pendidikan formal ilmu pelayaran sudah banyak berdiri, salah satunya STIP yang berdiri pada 1953.

“Lulusan ilmu pelayaran ini lebih spesifik karena dianggap lebih profesional untuk menjadi pelaut, dan memang untuk menjadi pelaut harus tangguh, beda dengan pekerjaan darat. Menjadi pelaut harus bisa bagaimana menghadapi gelombang besar dan tantangan lain yang terjadi. Oleh karena itu, berkaitan dengan metodologi dan pendidikan, banyak akademi-akademi pelayaran yang berstatus diasramakan,” kata Jafar.

Prof. Jafar menuturkan, seorang taruna pelayaran harus memiliki mental yang tangguh. Namun, dalam melatih mentalnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan oleh seniornya. Itu seperti melatih menjadi dewasa dengan cara tidak dewasa. Sebab, kekerasan di lingkungan pendidikan akan berdampak pada psikologis dan menghambat proses belajar mengajar. 

“Kami mengharapkan akademi pelayaran sudah direformasi, jadi dengan wajah baru. Benar-benar mewadahi bagaimana memberikan pemahaman tentang kemaritiman dan pelayaran dengan sistem yang baru. Itu yang kita harapkan, sehingga sungguh-sungguh menghasilkan pelaut-pelaut yang tangguh,” ujarnya.

 

2 dari 4 halaman

Sistem Pekerjaan Pelaut

Psikolog Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai, S.P.Si., M.PPO. sepakat dengan pepatah yang mengatakan ‘Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.’ Ia mengakui pekerjaan seorang pelaut tidak seperti karyawan di darat pada umumnya. Pelaut adalah pekerjaan spesial. Oleh karenanya, pendidikannya juga perlu disesuaikan dengan tantangan yang akan dihadapi di tengah laut.

“Lingkungan perairan maupun lautan bukan habitat asli manusia. Nah di sini ketika seorang manusia ingin melaksanakan aktivitas dan tampil dengan performa yang prima, maka dia harus punya perbedaan dengan orang biasanya. Oleh karenanya, wajar jika pendidikan pelayaran dilakukan berbeda dengan pendidikan pada umumnya,” bebernya.

Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai meluruskan soal tindakan yang sering diterapkan di pendidikan akademi seperti STIP, di antaranya pendidikan keras. Ia mengatakan, keras itu bukan berarti tidak baik. Keras adalah kata sifat, ketika diganti menjadi kata benda yaitu kekerasan maka jelas itu salah dan tidak dibenarkan.

“Keras itu diperlukan. Ketika di tengah lautan ada terjadi sesuatu, dia harus bertanggung jawab dan terakhir yang meninggalkan kapal,” imbuhnya mencontohkan.

Selain Prof. Didin, Prof. Jafar, dan Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai, FGD ini menghadirkan dua narasumber lainnya yakni Ketua STIP periode 2014-2015 Capt. Rudiana, M.M. dan Ketua Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKKPNI) Capt. Dwiyono.

 

 

3 dari 4 halaman

Tanggapan Ketua CAAIP soal Wacana Kebijakan Menhub di STIP 

Berkaitan dengan wacana kebijakan baru Kemenhub, Ketua Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran, Iko Johansyah menghargai niat baik Menhub Budi Karya yang menginginkan transformasi pendidikan Indonesia lebih baik, termasuk pendidikan pelayaran. Namun, empat wacana kebijakan untuk STIP yang disampaikan beberapa waktu lalu membuat CAAIP ingin mendalami lebih jauh bersama para akademisi, praktisi pelayaran, alumni, hingga orang tua taruna.  

Soal moratorium penerimaan taruna STIP, Iko menyayangkan keputusan tersebut. Sebab, banyak calon taruna yang sangat bersemangat untuk masuk ke STIP, bahkan sudah ada 463 calon taruna yang mengikuti tes. Mereka pun menjadi korban jika kebijakan tersebut diterapkan.

“Mereka siap bergabung di STIP. Akan tetapi, dikarenakan ada korban, akhirnya mereka pun jadi korban atas terputusnya cita-cita atau impian dari sebelum mereka lulus sekolah. Ada yang sudah bermimpi ingin menjadi pelaut. Ada yang ingin menjadi profesional di perusahaan pelayaran. Mungkin mimpi-mimpi muncul karena banyak role model dari para alumni yang sudah ditunjukan oleh STIP,” tutur pria yang juga alumni STIP angkatan 37 ini.

Iko juga menyayangkan wacana menghilangkan tradisi senioritas di STIP. Menurutnya, tradisi ini justru mengeratkan persaudaraan adik dengan kakak tingkatnya. Ikatan tersebut terus terjalin hingga mereka menjadi alumni.

“Hasilnya seperti saat ini. Saat ada kejadian, adrenalin kami sangat tinggi untuk melakukan perbaikan dan memberikan masukan-masukan yang terbaik untuk almamater. Bisa memberikan kontribusi yang terbaik untuk adik-adik kami di sekolah kami. Ini adalah bentuk korsa atau bentuk senioritas pada kami. Ini mungkin perlu pengkajian. Yang paling penting adalah tidak berlebihan,” imbuhnya.

Menghilangkan atribut kepangkatan pada seragam taruna juga merupakan solusi. Iko menyebut tanda kepangkatan yang melekat pada seragam merupakan bentuk pembelajaran sebelum memasuki dunia kerja. Di balik tanda pangkat terdapat tugas dan tanggung jawab yang harus diemban.

“Kalau di kapal-kapal biasanya tanda pangkat di seragam itu melekat, apalagi level perwira. Harus ada hierarki yang ditonjolkan. Hierarki harus ada karena ada tugas dan tanggung jawab dari masing-masing jabatan yang diemban. Sekarang di instansi-instansi pemerintahan pun kembali memakai tanda pangkat, terutama di perhubungan,” ungkap Iko.

Menurut Iko, seharusnya keputusan dibuat mengedepankan substansi. Ia menanyakan, apakah dengan menghilangkan tanda kepangkatan, menghilangkan tradisi senioritas, dan mengubah kurikulum dapat menghilangkan kasus perundungan?

“Saya rasa kasus penganiayaan tidak hanya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran saja yang terjadi. Di sekolah-sekolah non-kedinasan atau sekolah-sekolah lain yang tidak memakai tanda pangkat pada seragam juga ada tindakan bullying,” ujarnya.

Oleh karenanya, Iko mengajak seluruh pihak terkait berpikir secara menyeluruh dan fair, bukan melihat dari satu sudut, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan yang sporadis.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Moratorium hingga Penghilangan Atribut Kepangkatan Ditentang Banyak Pihak

Rencana kebijakan baru Kemenhub juga ditentang banyak pihak. Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia, Capt. Korompis tidak setuju dengan moratorium penerimaan taruna tahun 2024, penghilangan tradisi senior-junior, dan penghapusan tanda kepangkatan seragam.

“Saya melihat ada hal-hal yang perlu dibenahi seperti pengawasan. Sebenarnya kan SOP-nya sudah ada, tapi sejauh mana pengawasannya. Untuk meningkatkan pengawasan, sekarang kan ada CCTV. Yang saya harapkan ada satu ikatan kebersamaan antarangkatan dan juga kamar,” kata Korompis.

Menurut Korompis, kedisiplinan di STIP harus tetap ditegakkan. Hal lain yang tidak kalah penting perlu ditingkatkan adalah pembinaan rohaninya. “Memang sih di sana ada ibadah baik hari Minggu atau Jumat, tapi bagaimana pembinaan rohani ini ditingkatkan dan diingatkan,” katanya.

Mastaria Manurung, salah satu orang tua taruna STIP tingkat 4 merasa keberatan dengan kebijakan yang akan diterapkan Kemenhub. Ia tidak setuju dengan wacana taruna tinggal di luar asrama. Menurutnya, itu akan berpotensi menimbulkan dampak buruk, salah satunya pergaulan bebas.

“Untuk itu, kepada pak menteri mohon dipertimbangkan kembali. Kami sangat keberatan apabila anak anak kami di luar asrama,” pintanya.

Mastaria juga tidak setuju dengan penghapusan tanda kepangkatan yang melekat di seragam. Menurutnya, tanda seperti ini akan mudah membedakan mana taruna tingkat 1, 2, 3, dan 4.

Orang tua taruna meminta peraturan di STIP harus benar-benar ditegakkan dan pengawasannya diperketat. Mereka masih mengharapkan sekolah pelayaran yang didirikan pertama kali oleh Soekarno tetap eksis dan tidak ditutup.

“Ditutup bukan solusi, mencopot seragam bukan solusi, kami berharap bapak menteri bisa bersinergi untuk memajukan sekolah tinggi pelayaran di Indonesia khususnya STIP Jakarta,” katanya.

Hasil FGD yang diinisiasi CAAIP ini akan dikaji bersama lembaga kajian independen. Hasilnya akan disampaikan ke Kemenhub dan jika diperlukan akan dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI.

 

Video Terkini