Sukses

IMF Soal Perang Dagang AS-China: Rugikan Ekonomi Global

IMF menganggap pembatasan perdagangan oleh AS ke China dapat mendistorsi perdagangan dan investasi, serta memecah rantai pasokan.

Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) buka suara terkait ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, menyusul langkah Presiden Joe Biden menaikkan tarif impor pada kendaraan listrik dan barang lainnya dari China.

Mengutip CNBC International, Senin (20/5/2024) juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan, bahwa AS akan lebih terbantu dengan mempertahankan sistem perdagangan terbuka daripada menerapkan bea masuk baru terhadap barang-barang China.

Kozack menilai, pembatasan perdagangan yang diumumkan Biden dapat mendistorsi perdagangan dan investasi, serta memecah rantai pasokan dan memicu tindakan serupa.

"Fragmentasi seperti ini bisa sangat merugikan perekonomian global," ujar Kozack dalam sebuah konferensi pers.

Ia mengungkapkan, IMF mengidentifikasi sekitar 3.000 pembatasan perdagangan global pada tahun 2023, naik dari 1.000 pembatasan pada tahun 2019.

Skenario Terburuk

Dalam skenario terburuk, ada risiko  fragmentasi blok-blok geopolitik sehingga mengurangi output ekonomi global sekitar 7% atau setara dengan menghilangkan PDB sebesar gabungan Jepang dan Jerman.

"Sehubungan dengan tarif, pandangan kami adalah bahwa AS akan lebih terlayani dengan mempertahankan kebijakan perdagangan terbuka yang penting bagi kinerja perekonomiannya," jelas Kozack.

"Kami juga mendorong AS dan China untuk bekerja sama menuju solusi yang mengatasi kekhawatiran mendasar yang memperburuk ketegangan perdagangan antara kedua negara," pungkasnya.

Selain itu, Kozack juga menyebut, Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath akan melakukan perjalanan ke Beijing dari 26 hingga 29 Mei mendatang untuk bertemu dengan pejabat pemerintah mengenai tinjauan tahunan Pasal IV IMF mengenai kebijakan ekonomi China.

Kenaikan tarif impor yang diumumkan AS pada China baru-baru ini juga mencakup produk tenaga surya, semikonduktor, hingga pasokan medis.

2 dari 3 halaman

Susul AS, Kanada Bakal Dongkrak Tarif Impor Mobil Listrik China

Kanada mengungkapkan bahwa negara itu akan menyusul langkah Amerika Serikat dalam menaikkan tarif impor mobil listrik dari China.

Mengutip laman CBC, Minggu (19/5/2024) Menteri Perindustrian Kanada, François-Philippe Champagne mengatakan Ottawa sedang mempertimbangkan tarif tersebut setelah AS mengumumkan akan menaikkan biaya impor terhadap kendaraan listrik China dan barang-barang terkait lainnya.

François-Philippe Champagne pun memberi sinyal Kanada menerapkan tarif serupa.

"Adil untuk mengatakan bahwa segala sesuatunya dipersiapkan untuk melindungi industri dan pekerja kami," kata Champagne dalam sebuah wawancara dengan Power & Politics dari CBC News Network.

"Kami bekerja selaras dengan Amerika Serikat," bebernya.

Seperti diketahui, Presiden Joe Biden mengumumkan awal pekan ini bahwa AS akan mengenakan tarif baru pada kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China

Tarif tersebut akan diterapkan secara bertahap selama tiga tahun ke depan; yang mulai berlaku pada tahun 2024 mencakup kendaraan listrik, sel surya, jarum suntik, jarum suntik, baja dan aluminium, dan banyak lagi.

Saat ini, hanya ada sedikit produk kendaraan listrik asal China di AS, namun para pejabat Amerika khawatir bahwa model-model dengan harga rendah yang dihasilkan oleh subsidi pemerintah China akan segera membanjiri pasar AS. 

Dalam wawancara terpisah, Presiden Asosiasi Produsen Suku Cadang Otomotif Kanada, Flavio Volpe mengungkapkan dirinya setuju bila Kanada menerapkan pungutan perdagangan serupa.

"Sekarang Amerika telah memasang tembok tarif, kita tidak bisa membiarkan pintu samping terbuka di sini," ujar dia.

Brian Kingston, presiden Asosiasi Produsen Kendaraan Kanada, juga menggemakan argumen Volpe dalam sebuah postingan di X.

"Kanada tidak bisa keluar dari langkah AS dalam menghadapi China. Kita memerlukan kebijakan yang selaras yang memperkuat rantai pasokan otomotif Amerika Utara," tulisnya.

3 dari 3 halaman

Ekonom: Tarif Impor Barang China Tak Pengaruhi Kebijakan Moneter AS

Ekonom memperkirakan bahwa pemberlakukan tarif impor baru oleh Amerika Serikat terhadap barang dari China, akan memiliki dampak jangka pendek yang minim terhadap PDB, inflasi dan kebijakan moneter negara itu.

"Tarif yang diumumkan terhadap China oleh pemerintahan Biden menandakan konflik ekonomi musim dingin yang panjang dan dingin antara AS dan China," kata ekonom Joe Brusuelas di RSM US, dikutip dari CNN Business, Rabu (15/5/2024). 

Kemudian Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan bahwa pemberlakukan tarif impor barang China oleh Biden kemungkinan tidak akan mempengaruhi kebijakan moneter.

"Tarif tambahan pada dasarnya adalah kesalahan pembulatan inflasi dan PDB, dan tidak berdampak pada kebijakan moneter," tulis Ryan Sweet dalam sebuah catatan, ketika laporan pertama kali mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan tarif AS akan segera dilakukan.

"The Fed tidak akan membuat masalah besar, sehingga tarif tidak akan memberikan amunisi tambahan untuk membenarkan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," jelasnya.

Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.

Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.\

Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.

"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.

Video Terkini