Liputan6.com, Jakarta Indeks dolar Amerika Serikat (USD) berlanjut menguat di awal pekan pada Senin, 20 Mei 2024.
USD menguat ketika stabilitas di Timur Tengah menjadi fokus, setelah laporan media mengungkapkan bahwa Presiden Iran Ebrahim Raisi dan menteri luar negerinya tewas dalam kecelakaan helikopter pada Senin (20/5) waktu setempat.
Baca Juga
Pekan lalu, data menunjukkan inflasi ASÂ menurun di bulan April 2024, hal ini mendorong pasar memperkirakan suku bunga 50 basis poin (bps), atau setidaknya dua kali penurunan tahun 2024 ini. Namun berbagai pejabat The Fed telah memberikan peringatan tentang kepastian waktu penurunan.
Advertisement
"Oleh karena itu, para pedagang bertaruh pada pelonggaran sebesar 46 bps pada tahun ini, dan hanya penurunan suku bunga pada bulan November yang sudah diperhitungkan sepenuhnya. Fokusnya sekarang adalah pada laporan indeks harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) ukuran inflasi pilihan The Fed yang akan dirilis pada tanggal 31 Mei," kata Ibrahim Assuaibi, Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka dalam paparan tertulis, dikutip Senin (20/5/2024).
Selain itu, fokus pasar juga akan berada pada risalah pertemuan terakhir The Fed yang dijadwalkan pada hari Rabu besok (22/5). PMI awal untuk zona euro, Jerman, Inggris, dan AS juga akan dirilis pekan ini, bersama dengan daftar pembicara The Fed yang lengkap.
Rupiah melemah pada Senin, 20 Mei 2024
Rupiah ditutup melemah 23 point dalam perdagangan Senin sore (20/5), walaupun sempat melemah 30 point dilevel Rp. 15.978 dari penutupan sebelumnya di level Rp.16.923.
"Sedangkan untuk besok depan, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp. 15.960 - Rp.16.030," demikian perkiraan Ibrahim.
Defisit Transaksi Berjalan RI Diprediksi Melebar pada Kuartal I 2024
Ekonom memperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia akan melebar pada kuartal I/2024.
menurut Ibrahim, kondisi itu berpeluang terjadi seiring dengan surplus neraca perdagangan yang menyusut.
Neraca transaksi berjalan Indonesia akan mencatatkan defisit -0,40% dari PDB pada kuartal I/2024, yang mana pada kuartal I/2023 mengalami surplus sebesar 0,90% dari PDB.
"Hal ini juga menunjukkan pelebaran dari defisit -0,38% dari PDB pada kuartal IV/2023. Pelebaran defisit transaksi berjalan tersebut terutama dipengaruhi oleh surplus neraca perdagangan yang menurun dari US$12,11 miliar pada Januari-Maret 2023 menjadi US$7,41 miliar pada Januari-Maret 2024," jelas dia.
Sepanjang 2023, transaksi berjalan mencatatkan defisit sebesar US$1,6 miliar atau 0,1% dari PDB, setelah membukukan surplus sebesar USD 13,2 miliar atau 1,0% dari PDB pada 2022. Defisit transaksi berjalan akan tetap terkendali pada 2024, menjadi 0,75% dari PDB.Â
"Ekspektasi ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk normalisasi harga komoditas secara bertahap, juga permintaan domestik yang solid sejalan dengan prospek ekonomi domestik yang positif," katanya.
Advertisement
Perang Dagang AS-China Masih Sengit, Apa Dampaknya ke Indonesia?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengakui bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan China baru-baru ini dapat berdampak ke prospek ekonomi Indonesia.
Dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-17 pada Senin (20/5) Sri Mulyani mengatakan bahwa persaingan geopolitik antara AS dan China dalam bentuk kendaraan listrik dan chip telah menimbulkan fragmentasi global serta menimbulkan disrupsi perdagangan dan investasi.
"Persaingan antara dua kekuatan ekonomi besar dunia diperkirakan akan terus berlangsung dalam dekade mendatang, yang tentu berdampak bagi prospektif ekonomi nasional dan dunia Pimpinan dan nasional," ujar Sri Mulyani dalam pidato di DPR, yang disiarkan pada Senin (20/5/2024).
Namun, Sri Mulyani yakin, perekonomian Indonesia mampu melewati berbagai guncangan di masa mendatang.
Hal itu terlihat dari tantangan-tantangan sebelumnya yang telah dihadapi Indonesia, salah satunya saat pandemi COVID-19.
"Kita patut bersyukur di tengah berbagai tantangan, ekonomi Indonesia terjaga dalam 5 tahun sebelum COVID. Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara G20 yang mampu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan Global, kata Menkeu.
Bersama dengan China dan India, Sri Mulyani mencatat, pertumbuhan ekonomi nasional 2015-2019 mencapai 5%. Angka tersebut jauh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya sebesar 3,4% dan juga lebih tinggi dibandingkan emerging economy anggota G20 yang tumbuh 4,9%.