Sukses

Jepang Dikabarkan Gandeng ASEAN Jajaki Produksi Mobil, Mau Saingi China?

Kabar tersebut dipublikasikan dalam laporan surat kabar Nikkei pada Senin (20/5).

Liputan6.com, Jakarta Jepang dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dikabarkan berencana untuk membuat kesepakatan produksi dan penjualan kendaraan di kawasan tersebut.

Kabar tersebut dipublikasikan dalam laporan surat kabar Nikkei pada Senin (20/5). Namun, laporan tersebut tidak mengutip sumber manapun.

Mengutip US News, Selasa (21/5/2024) kedua pihak dikabarkan akan menyusun strategi bersama terkait produksi dan penjualan kendaran mobil hingga sekitar tahun 2035. 

Diskusi lebih lanjut terkait kemitraan tersebut akan dilakukan ketika para menteri ekonomi Jepang dan negara-negara anggota ASEAN bertemu pada awal bulan September mendatang.

Strategi bersama ini diharapkan mencakup kerja sama dalam pelatihan personel, dekarbonisasi dalam produksi, pengadaan sumber daya mineral, dan investasi di bidang generasi mendatang seperti biofuel, menurut Nikkei.

Jepang bermaksud untuk memanfaatkan 140 miliar yen atau setara Rp 14,3 triliun yang diperoleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri dalam anggaran bantuan ke negara-negara Selatan, untuk pelatihan personel.

Pekan lalu, Honda Motor dari Jepang juga sepakat untuk melipatgandakan investasi elektrifikasi dan perangkat lunaknya menjadi sekitar USD 65 miliar atau Rp. 1 kuadriliun hingga tahun fiskal 2030, karena mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat dari sejumlah produsen mobil listrik asal China, termasuk BYD.

Kabar mengenai rencana kerja sama ini datang di tengah ketegangan yang meluas antara Amerika Serikat dan China, terkait kenaikan tarif impor kendaraan listrik dan semikonduktor China.

Seperti diketahui, AS beberapa waktu lalu mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap kendaraan listrik, chip komputer, produk medis, dan impor lainnya dari China.

2 dari 3 halaman

IMF Soal Perang Dagang AS-China: Rugikan Ekonomi Global

Diwartakan sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) buka suara terkait ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, menyusul langkah Presiden Joe Biden menaikkan tarif impor pada kendaraan listrik dan barang lainnya dari China.

Mengutip CNBC International, Senin (20/5/2024) juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan, bahwa AS akan lebih terbantu dengan mempertahankan sistem perdagangan terbuka daripada menerapkan bea masuk baru terhadap barang-barang China.

 Kozack menilai, pembatasan perdagangan yang diumumkan Biden dapat mendistorsi perdagangan dan investasi, serta memecah rantai pasokan dan memicu tindakan serupa.

"Fragmentasi seperti ini bisa sangat merugikan perekonomian global," ujar Kozack dalam sebuah konferensi pers.Ia mengungkapkan, IMF mengidentifikasi sekitar 3.000 pembatasan perdagangan global pada tahun 2023, naik dari 1.000 pembatasan pada tahun 2019.

Skenario Terburuk

Dalam skenario terburuk, ada risiko  fragmentasi blok-blok geopolitik sehingga mengurangi output ekonomi global sekitar 7% atau setara dengan menghilangkan PDB sebesar gabungan Jepang dan Jerman.

"Sehubungan dengan tarif, pandangan kami adalah bahwa AS akan lebih terlayani dengan mempertahankan kebijakan perdagangan terbuka yang penting bagi kinerja perekonomiannya," jelas Kozack.

"Kami juga mendorong AS dan China untuk bekerja sama menuju solusi yang mengatasi kekhawatiran mendasar yang memperburuk ketegangan perdagangan antara kedua negara," pungkasnya.

Selain itu, Kozack juga menyebut, Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath akan melakukan perjalanan ke Beijing dari 26 hingga 29 Mei mendatang untuk bertemu dengan pejabat pemerintah mengenai tinjauan tahunan Pasal IV IMF mengenai kebijakan ekonomi China.

Kenaikan tarif impor yang diumumkan AS pada China baru-baru ini juga mencakup produk tenaga surya, semikonduktor, hingga pasokan medis.

3 dari 3 halaman

Susul AS, Kanada Bakal Dongkrak Tarif Impor Mobil Listrik China

Kanada mengungkapkan bahwa negara itu akan menyusul langkah Amerika Serikat dalam menaikkan tarif impor mobil listrik dari China.

Mengutip laman CBC, Minggu (19/5/2024) Menteri Perindustrian Kanada, François-Philippe Champagne mengatakan Ottawa sedang mempertimbangkan tarif tersebut setelah AS mengumumkan akan menaikkan biaya impor terhadap kendaraan listrik China dan barang-barang terkait lainnya.

François-Philippe Champagne pun memberi sinyal Kanada menerapkan tarif serupa.

"Adil untuk mengatakan bahwa segala sesuatunya dipersiapkan untuk melindungi industri dan pekerja kami," kata Champagne dalam sebuah wawancara dengan Power & Politics dari CBC News Network.

"Kami bekerja selaras dengan Amerika Serikat," bebernya.

Seperti diketahui, Presiden Joe Biden mengumumkan awal pekan ini bahwa AS akan mengenakan tarif baru pada kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China

Tarif tersebut akan diterapkan secara bertahap selama tiga tahun ke depan; yang mulai berlaku pada tahun 2024 mencakup kendaraan listrik, sel surya, jarum suntik, jarum suntik, baja dan aluminium, dan banyak lagi.

Saat ini, hanya ada sedikit produk kendaraan listrik asal China di AS, namun para pejabat Amerika khawatir bahwa model-model dengan harga rendah yang dihasilkan oleh subsidi pemerintah China akan segera membanjiri pasar AS. 

Dalam wawancara terpisah, Presiden Asosiasi Produsen Suku Cadang Otomotif Kanada, Flavio Volpe mengungkapkan dirinya setuju bila Kanada menerapkan pungutan perdagangan serupa.

"Sekarang Amerika telah memasang tembok tarif, kita tidak bisa membiarkan pintu samping terbuka di sini," ujar dia.

Brian Kingston, presiden Asosiasi Produsen Kendaraan Kanada, juga menggemakan argumen Volpe dalam sebuah postingan di X.

"Kanada tidak bisa keluar dari langkah AS dalam menghadapi China. Kita memerlukan kebijakan yang selaras yang memperkuat rantai pasokan otomotif Amerika Utara," tulisnya.