Liputan6.com, Jakarta United In Diversity Foundation bersama Rocky Mountain Institute meluncurkan program pembelajaran aksi baru Happy Energy Action Leadership: Energy Transition, Livelihood, Systems, and Blended Finance. Program ini bertujuan untuk mengkatalisasi perubahan sistem yang transformatif demi masa depan energi yang membahagiakan, tangguh, dan berkeadilan
Caranya, membekali para pelaku transisi energi baik lokal maupun global dengan kapasitas untuk mengatasi berbagai hambatan sistemik dengan menggunakan pemikiran holistik, dan cara belajar serta pemecahan masalah yang berorientasi pada masa depan, lintas sektoral, dan multidisiplin.
Baca Juga
Peluncuran ini diumumkan pada dialog Global Blended Finance Alliance (GBFA) di G20 Bali: Natural Capital, Communities, and Climate Action for A Better Business and Better World, yang diselenggarakan oleh Tri Hita Karana Forum dan World Economic Forum dalam rangka World Water Forum ke-10 di Bali.
Advertisement
Dialog ini bertujuan untuk mengkatalisasi aksi global untuk melindungi, memulihkan, dan meregenerasi sumber daya alam dan lingkungan, serta mengeksplorasi ide-ide dan solusi yang muncul untuk perubahan sistem yang menempatkan alam, masyarakat, dan aksi iklim sebagai fokus utama.
Saat programnya dimulai nanti, HEAL akan mengajak 45 pemimpin di bidang transisi energi dari berbagai sektor - pembuat kebijakan, lembaga keuangan nasional dan multilateral, negara-negara donor, produsen energi, pemerintah daerah, universitas, dan organisasi masyarakat sipil - dalam sebuah perjalanan pembelajaran holistik yang berlangsung selama empat bulan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia dan Tri Hita Karana co-host, Luhut Binsar Panjaitan, menekankan pentingnya program ini.
“Mata dunia tertuju ke Indonesia sehingga kita harus menjadi contoh sukses transisi energi yang adil, dengan menyeimbangkan pembangunan ekonomi, kesetaraan sosial, dan pemeliharaan lingkungan. Inisiatif seperti JETP perlu didukung oleh penyelarasan pemangku kepentingan yang sepadan, tidak hanya dalam hal teknis tetapi juga dalam hal membangun relasi antar institusi.
"Oleh karena itu, saya mendorong negara-negara IPG, anggota GFANZ, kementerian dan lembaga, serta organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dengan HEAL agar kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk belajar bersama dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang ada," sambung Luhut.
Â
Target Nol Emisi Indonesia
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyambut baik kehadiran program HEAL.
"Tugas untuk mewujudkan target nol emisi Indonesia menjadi semakin penting saat ini, seiring dengan upaya kita untuk mengurangi dampak krisis iklim. Kita harus memastikan bahwa peluang seperti Just Energy Transition Partnership (Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan) dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan global menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industri serta mewujudkan transisi energi yang adil dan merata bagi Indonesia," kata dia.
 "Ini adalah tantangan yang kompleks dan memiliki banyak sisi yang mengharuskan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama untuk menghasilkan solusi inovatif di berbagai bidang. HEAL tidak diragukan lagi akan membantu mempercepat upaya-upaya tersebut dengan menyelaraskan upaya bersama ini. Saya berharap semua pemangku kepentingan yang relevan, baik lokal maupun internasional, akan berpartisipasi untuk menyukseskan program ini," lanjut dia.
Programnya akan mencakup lokakarya tatap muka, kunjungan lapangan yang mendalam, modul peningkatan kapasitas multidisiplin secara daring, serta kerja kelompok yang meresponi langsung berbagai tantangan dari proyek-proyek transisi energi yang otentik.
Model pembelajaran campuran ini diimplementasikan di lingkungan yang secara sengaja difasilitasi untuk mewakili keragaman suara dan perspektif dalam transisi energi.
Â
Â
Advertisement
Menko Luhut Ingin Indonesia Kantongi Cuan dari Penjualan Karbon
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya alamnya secara berkelanjutan dan menghasilkan pendapatan dari penjualan karbon.Â
Berdasarkan penelitian berbagai lembaga termasuk Mc Kinsey Indonesia, diperkirakan memiliki Nature Based Solutions (NBS) atau Ecological Based Approach (EBA) yang mencapai 1,5 GT CO2eq per tahun, sekitar USD 7, 1 miliar atau Rp 112,5 triliun.
"Saat kita berupaya menuju masa depan net-zero. Mengacu pada Konsensus COP28 UEA, semua pihak berkomitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil, mempercepat pengurangan emisi NDC yang ambisius dan berskala ekonomi, dan mendorong tiga kali lipat energi terbarukan dan dua kali lipat efisiensi energi pada tahun 2030," ujar Menko Luhut dikutip dari keterangan tertulis yang disiarkan Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (Kementerian ESDM), Senin (20/5/2024).
Menurut Luhut, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya alamnya secara berkelanjutan. Kemudian menghasilkan pendapatan dari penjualan karbon melalui mekanisme carbon pricing yang berstandar internasional.
"Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang sangat besar yang dapat digunakan untuk mengatasi perubahan iklim. Berdasarkan beberapa penelitian, termasuk McKinsey pada tahun 2023, Indonesia memiliki potensi Nature Based Solutions (NBS) atau Ecological Based Approach (EBA) yang sangat besar dari upaya mitigasi hingga 1,5 GT CO2eq per tahun, sekitar Rp 112,5 triliun atau USD 7, 1 miliar," ujar Menko Luhut.
Â
Â
Inisiatif Indonesia
Luhut juga menyinggung inisiatif Indonesia sela-sela KTT G20 yakni Global Blended Finance Alliance (GBFA) yang juga dapat menjadi solusi mengahadapi tantangan global perubahan iklim.
"GBFA juga mendukung pencapaian SDGs untuk negara-negara berkembang, LDCs, negara kepulauan, dan Kolaborasi Global Selatan. Melalui GBFA, kami meletakkan dasar bagi perubahan transformatif, memanfaatkan keuangan campuran dan pengetahuan masa depan untuk mempercepat penciptaan nilai dan investasi di sektor-sektor ekonomi utama seperti energi, hutan, ekonomi biru, termasuk hutan bakau dan lamun, kesehatan infrastruktur, dan keberlanjutan pariwisata," paparnya.
"GBFA bukan hanya solusi untuk mengatasi transisi energi, namun Indonesia juga memimpin dalam bidang hutan dan bakau sebagai bagian dari solusi berbasis alam untuk aksi iklim," pungkas Luhut.
Advertisement