Sukses

Warung Deket Sekolah Bakal Dilarang Jual Rokok, Pedagang Kaki Lima Angkat Bicara

Pelaku usaha warung menolak wacana pelarangan penjualan rokok dengan zonasi steril sejauh 200 meter dari tempat pendidikan karena dipandang diskriminasi dan akan mematikan usaha mereka.

Liputan6.com, Jakarta Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti pemilik usaha warung, dibuat resah dengan rencana pengaturan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Sejalan dengan itu, pelaku usaha warung pun menolak wacana pelarangan penjualan rokok dengan zonasi steril sejauh 200 meter dari tempat pendidikan karena dipandang diskriminasi dan akan mematikan usaha mereka.

Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) dan Asosiasi Pedagang Kaki Lima Perjuangan (APKLI Perjuangan), Ali Mahsun Atmo, mengatakan perlu adanya keselarasan dengan pemangku kepentingan terkait aturan-aturan tembakau di RPP Kesehatan, termasuk rencana aturan pelarangan penjualan rokok dengan zonasi di bawah 200 meter dari tempat pendidikan.

Ali mengatakan peraturan ini akan berdampak sangat besar pada keberlangsungan usaha bagi pelaku usaha warung yang terdampak.

Di mana, pelaku usaha yang berada di area tersebut tidak lagi dapat menjual rokok, padahal rokok adalah barang yang legal untuk diperdagangkan dan sudah ada pembatasan usia minimal untuk membeli rokok.

Selain itu, Ali menegaskan sebaiknya pemerintah menerima masukan dari para pelaku usaha yang terlibat langsung pada penjualan rokok atas rencanan aturan ini.

"Saya kira setiap regulasi harus dilakukan sosialisasi dan edukasi yang melibatkan ekonomi rakyat masyarakat. Semua harus dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi," tegasnya dikutip Selasa (21/5/2024)

Selain itu, rencan aturan tersebut akan menimbulkan perbedaan perlakuan bagi pedagang rokok di dalam area zonasi dengan pedagang yang berada di luar zonasi.

"(Omzet) pasti jadi turun banget kalau aturannya seperti itu. Lagipula, kan ini bukan salah dari warung yang jualan di area situ. Kok jadi kami yang kena aturannya," khawatir Samsul, pedagang warung madura di Jakarta Selatan.

Samsul mengaku peraturan ini dapat mematikan pedagang yang memang sudah berjualan di lokasi tersebut akibat terkena larangan penjualan rokok, sementara aturan ini masih sangat minim sosialisasi, sehingga berpotensi adanya miskomunikasi antara pedagang dengan petugas yang akan mengawasi aturan tersebut.

2 dari 3 halaman

Penjualan Rokok Bakal Makin Diperketat, Industri Ritel Curhat Begini

Pangku kepentingan di industri tembakau, yakni Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), serta Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman (FSP RTMM-SPSI) berharap pemerintah memisahkan aturan soal tembakau dari regulasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Ketua Umum APRINDO Roy Nicholas Mandey menyampaikan, secara fundamental pihaknya mengapresiasi adanya undang-undang yang mengatur soal konsumsi tembakau dari sisi kesehatan.

Namun yang menjadi catatan, perlu adanya pembahasan intens terkait larangan dan pembatasan penjualan produk turunan tembakau karena menyangkut kesejahteraan ekonomi, dan tenaga kerja yang berkecimpung dalam industri tersebut.

Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan dan taman bermain. Ia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir.

“Gampang sekali dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum,” ujar dia dikutip dari Antara, Selasa (21/5/2024).

 

 

 

3 dari 3 halaman

Industri Rokok Terpuruk

Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan alasan pihaknya menginginkan hal tersebut karena saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) legal terus mengalami keterpurukan akibat berbagai dorongan regulasi yang eksesif.

Penurunan itu bisa dilihat melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2023 yang tidak memenuhi target, yakni hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78 persen dari target APBN.

"Jika RPP tetap diputus dengan draf yang beredar saat ini, maka akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin, akan membuat anggota GAPPRI gulung tikar,” kata Henry.