Liputan6.com, Jakarta - Suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) diproyeksikan turun mulai pada kuartal III-2024. Namun, jika hal itu tidak terjadi akan mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, yang mana dapat mempengaruhi arus modal ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, menilai apabila penurunan suku bunga The Fed tidak terjadi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang akan semakin melemah.
Baca Juga
"Mengenai penurunan suku bunga The Fed bagaimana jika tidak ada penurunan, ini bisa mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, di mana peningkatan volaitilitas imbal hasil US Treasury ini bisa mempengaruhi arus modal atau arus dana ke emerging market termasuk ke Indonesia dan mengurangi kestabilan nilai tukar," kata Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Advertisement
Jika nilai tukar rupiah terganggu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi di pasar valuta asing (Valas) lebih banyak, dan intervensi ini akan berdampak negatif pada likuiditas perbankan.
Terkecuali apabila Bank Indoensia melakukan sterilisasi dari intervensinya tersebut dengan cara menambah kembali likuiditas di perbankan, baik dengan cara intervensi di pasar obligasi.
"Yang dimana pembelian SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas maupun dengan perubahan tingkat GWM atau penurunan tingkat GWM dimana ini juga akan menambah supply rupiah di perbankan," tutur dia.
Di sisi lain, jika penurunan suku bungan The Fed benar terjadi, Helmi memproyeksikan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan The Fed.
"Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit," pungkasnya.
The Fed: Masih Butuh Beberapa Bulan Sebelum Pangkas Suku Bunga AS
Sebelumnya, Gubernur Federal Reserve (The Fed), Christopher Waller mulai memberi sinyal penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) sudah di depan mata.
Namun, ia masih perlu diyakinkan sebelum mendukung pemangkasan dilakukan dalam waktu dekat.
Dikutip dari CNBC International, Kamis (23/5/2024) Waller mengatakan ia tidak berpikir kenaikan suku bunga lebih lanjut akan diperlukan, melihat data inflasi AS yang menunjukkan kenaikkan harga telah mereda.
"Para bankir sentral tidak boleh mengatakan tidak, namun data menunjukkan bahwa inflasi tidak meningkat, dan saya percaya bahwa kenaikan lebih lanjut dalam suku bunga kebijakan mungkin tidak diperlukan," kata Waller, yang baru-baru ini bersikap hawkish.
Komentar tersebut disampaikan dalam pidato yang telah disiapkan untuk pidato di hadapan Peterson Institute for International Economics di Washington.
Waller merujuk pada serangkaian data baru-baru ini, mulai dari penjualan ritel AS yang mendatar hingga penurunan sektor manufaktur dan jasa, yang menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed telah membantu meringankan sebagian permintaan yang berkontribusi pada tingkat inflasi tertinggi dalam lebih dari 40 tahun.
Meskipun kenaikan upah cukup solid, pasar tenaga kerja AS telah menaikkan upah hingga mencapai tingkat yang konsisten dengan sasaran inflasi 2% yang ditetapkan the Fed, telah menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Namun Waller mengatakan dia belum siap untuk mendukung penurunan suku bunga.
"Perekonomian sekarang tampaknya berkembang mendekati apa yang diharapkan oleh Komite"” katanya.
"Namun demikian, dengan tidak adanya pelemahan yang signifikan di pasar tenaga kerja, saya perlu melihat data inflasi yang baik selama beberapa bulan lagi sebelum saya dapat mendukung pelonggaran kebijakan moneter," bebernya.
Advertisement
Wamenkeu Pesimistis The Fed Bakal Turunkan Suku Bunga dalam Waktu Dekat
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memperkirakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) akan lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama.
Wamenkeu juga menyoroti kondisi ekonomi Indonesia yang tak pernah lepas dari konstelasi dunia salah satunya terkait suku bunga The Fed tersebut.
"Sekarang AS di-drive oleh keinginan untuk mendapatkan stabilitas tetapi pertumbuhannya nggak mau turun atau kalau bisa stabil,” papar Suahasil pada acara Grab Business Forum 2024 di Grand Ballroom Kempinski, Senin (14/5/2024).
“Bentuk stabilitasnya adalah kalau bisa inflasinya turun tetapi pertumbuhannya tinggi, ini menjadi keinginan seluruh negara. Ternyata data terakhir Amerika inflasi tinggi bahkan di atas yang dipikirkan oleh berbagai pihak tapi draftnya tetap positif,” lanjutnya.
“Kebijakan di Amerika untuk menurunkan suku bunga sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” sambung Suahasil.
Hal inilah yang membuat dolar AS (AS) terus menguat, hingga berimbas ke nilai tukar rupiah seperti yang terlihat dalam beberapa pekan terakhir.
Kondisi EropaSelain AS, ekonomi Indonesia juga dipengaruhi dengan kondisi di Eropa, yang dalam beberapa waktu terakhir menghadapi ancaman resesi.
“(Tekanan di Eropa) akan membuat modal capital di dunia mencari tempat atau apakah akan wait and see. Indonesia pasti kena imbas,"bebernya.
Adapun dampak lainnya, yaitu dari pelemahan di China yang memiliki peran sebagai mitra dagang utama Indonesia.
BI Ramal The Fed Cuma Turunkan Suku Bunga Sekali Tahun Ini
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan The Fed selaku bank sentral Amerika Serikat bakal menurunkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR), setidaknya satu kali pada 2024 ini.
Ramalan itu muncul lantaran Bank Indonesia melihat kondisi global saat ini lebih baik dari yang diperkirakan pada saat rapat dewan gubernur (RDG) bulanan pada April 2024 lalu.
"Ingat, ketika kita buat putusan waktu itu, arah Fed Fund Rate baseline-nya hanya satu kali turun di sekitar bulan Desember. Pada waktu itu, pernyataan sejumlah The Fed hawkish semuanya," ujar Perry, Rabu (8/5/2024).
"Sehingga, kami membuat potential risk, Fed Fund Rate enggak turun tahun ini. Turunnya tahun depan, dua kali. Itu yang kami addressed," dia menambahkan.
Adapun gelagat pejabat The Fed yang bersikap hawkish kala itu membuat BI mempertimbangkan potential risk. Kalau itu, The Fed sempat memberi sinyal suku bunga acuan tidak akan bergerak ke bawah 2024, dan baru turun sebanyak dua kali di tahun depan.
Namun, kini pejabat The Fed tampak bersikap less hawkish, meskipun belum dovish. Sehingga Bank Indonesia memandang potential risk sudah mengarah pada baseline.
"Ini memang kemungkinan-kemungkinannya kita melihat semoga potential risk-nya tidak terjadi, mengarah kepada baseline. Tapi kami belum konklusif," kata Perry.
"Tapi kayaknya kalau ini terjadi seperti itu, kemungkinan potential risk-nya tidak terjadi. Artinya apa, mungkin Fed Fund Rate turun sekali di bulan Desember," tegas dia.
Advertisement