Sukses

Rupiah Lesu Tersengat Sentimen Suku Bunga The Fed Bakal Naik

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra prediksi potensi pelemahan rupiah ke arah Rp16.050 per dolar AS dengan support di sekitar Rp15.990 per dolar AS pada perdagangan Senin, 27 Mei 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Ada peluang kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR) pada 2024 telah bebani nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan.

Mengutip Antara, Senin (27/5/2024), rupiah dibuka melemah 31 poin atau 0,19 persen menjadi 16.026 per dolar AS pada awal perdagangan. Posisi rupiah sebelumnya sebesar 15.995 per dolar AS.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menuturkan, Rupiah masih mungkin dalam tekanan terhadap dolar AS hari ini karena sentimen risalah rapat bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed).

"Karena hasil notulen rapat moneter bank sentral AS yang dirilis pekan lalu menunjukkan bahwa pejabat The Fed ternyata masih membuka opsi kenaikan suku bunga acuan tahun ini bila inflasi AS menunjukkan kenaikan lagi," ujar Ariston kepada Antara.

Ariston menuturkan, hal itu berbeda dengan yang dikatakan oleh Gubernur Bank Sentral AS the Federal Reserve, Jerome Powell usai rapat bank sentral AS sebelumnya kalau kenaikan suku bunga bukan rencana pada 2024.

Pada pekan ini, pelaku pasar akan mengonfirmasi sikap petinggi bank sentral AS atau The Fed tersebut dengan data inflasi Indeks Harga Belanja Personal (PCE) Inti (Core PCE Price Index) AS yang akan dirilis pada Jumat pekan ini.

Oleh karena itu, selama tidak ada indikasi baru soal peluang pemangkasan suku bunga acuan AS, rupiah masih akan berkonsolidasi dan berpotensi melemah terhadap dolar AS pekan ini.

Ariston prediksi potensi pelemahan rupiah ke arah Rp16.050 per dolar AS dengan support di sekitar Rp15.990 per dolar AS pada perdagangan Senin, 27 Mei 2024.

2 dari 4 halaman

Jika The Fed Tak Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Dampaknya ke Rupiah?

Sebelumnya, suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) diproyeksikan turun mulai pada kuartal III-2024. Namun, jika hal itu tidak terjadi akan mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, yang mana dapat mempengaruhi arus modal ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia.

Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, menilai apabila penurunan suku bunga The Fed tidak terjadi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang akan semakin melemah.

"Mengenai penurunan suku bunga The Fed bagaimana jika tidak ada penurunan, ini bisa mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, di mana peningkatan volaitilitas imbal hasil US Treasury ini bisa mempengaruhi arus modal atau arus dana ke emerging market termasuk ke Indonesia dan mengurangi kestabilan nilai tukar," kata Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/5/2024).

Jika nilai tukar rupiah terganggu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi di pasar valuta asing (Valas) lebih banyak, dan intervensi ini akan berdampak negatif pada likuiditas perbankan.

 

 

3 dari 4 halaman

Penurunan Suku Bunga BI Bakal Lebih Lambat

Terkecuali apabila Bank Indonesia melakukan sterilisasi dari intervensinya tersebut dengan cara menambah kembali likuiditas di perbankan, baik dengan cara intervensi di pasar obligasi.

"Yang di mana pembelian SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas maupun dengan perubahan tingkat GWM atau penurunan tingkat GWM dimana ini juga akan menambah supply rupiah di perbankan," tutur dia.

Di sisi lain, jika penurunan suku bunga The Fed benar terjadi, Helmi memproyeksikan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan The Fed.

"Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit," pungkasnya.

 

4 dari 4 halaman

Wamenkeu Pesimistis The Fed Bakal Turunkan Suku Bunga dalam Waktu Dekat

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memperkirakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) akan lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama.

Wamenkeu juga menyoroti kondisi ekonomi Indonesia yang tak pernah lepas dari konstelasi dunia salah satunya terkait suku bunga The Fed tersebut. 

"Sekarang AS di-drive oleh keinginan untuk mendapatkan stabilitas tetapi pertumbuhannya nggak mau turun atau kalau bisa stabil,” papar Suahasil pada acara Grab Business Forum 2024 di Grand Ballroom Kempinski, Senin (14/5/2024).

“Bentuk stabilitasnya adalah kalau bisa inflasinya turun tetapi pertumbuhannya tinggi, ini menjadi keinginan seluruh negara. Ternyata data terakhir Amerika inflasi tinggi bahkan di atas yang dipikirkan oleh berbagai pihak tapi draftnya tetap positif,” lanjutnya.

“Kebijakan di Amerika untuk menurunkan suku bunga sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” sambung Suahasil.

Hal inilah yang membuat dolar AS (AS) terus menguat, hingga berimbas ke nilai tukar rupiah seperti yang terlihat dalam beberapa pekan terakhir.

Kondisi EropaSelain AS, ekonomi Indonesia juga dipengaruhi dengan kondisi di Eropa, yang dalam beberapa waktu terakhir menghadapi ancaman resesi.

“(Tekanan di Eropa) akan membuat modal capital di dunia  mencari tempat atau apakah akan wait and see. Indonesia pasti kena imbas,"bebernya.

Adapun dampak lainnya, yaitu dari pelemahan di China yang memiliki peran sebagai mitra dagang utama Indonesia. 

 

Video Terkini