Sukses

Pabrik Kabel Serat Optik Terancam Gulung Tikar, Ini Gara-garanya

Banyak pelaku dan asosiasi industri dalam negeri yang mengeluhkan adanya relaksasi impor.

Liputan6.com, Jakarta Banyak pelaku dan asosiasi industri dalam negeri yang mengeluhkan adanya relaksasi impor melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Protes ini termasuk disampaikan oleh Asosiasi Perusahaan Kabel Listrik Indonesia (Apkabel).

Permendag No 8/2024 diproyeksi membuat Indonesia akan dibanjiri produk asing sehingga merontokkan daya saing industri nasional. Pada aturan baru itu, beberapa komoditas dibebaskan dari syarat pertimbangan teknis (pertek) sebagai kelengkapan dokumen impor, yakni komoditas elektronik, alas kaki, serta pakaian jadi dan aksesoris.

Padahal sebelumnya, di dalam Permendag No 36/2023 ada pemberlakuan larangan dan/atau pembatasan (lartas) untuk produk elektronika dan kabel serat optik.

 

“Sedangkan Permendag No 8/2024 menghapus atau menghilangkan pertek dan lartas kabel serat optik. Hal ini sangat mengecewakan industri kabel serat optik dalam negeri karena memberikan kebebasan masuknya kabel serat optik impor,” ungkap Ketua Umum Apkabel, Noval Jamalullail dalam keterangannya di Jakarta, Senin (27/5/2024).

Menurut Noval, pertek dari Kementerian Perindustrian sebenarnya adalah jalan keluar yang terbaik dan berimbang (fair) bagi barang-barang impor yang memang dibutuhkan dan masuk dalam kategori pengecualian.

“Pertek ini menjadi solusi terbaik bagi industri dalam negeri yang mendukung agar industri dalam negeri tetap dapat hidup dan beroperasi dengan tetap memperhatikan kapasitas kemampuan industri dalam negeri,” tuturnya.

Noval mengakui, Permendag No 8/2024 akan mempermudah kembali impor kabel dan produk jadi lainnya masuk ke pasar dometik. Sedangkan yang dibutuhkan industri dalam negeri adalah kemudahan impor bahan baku (raw material) untuk kebutuhan industri yang tidak ada atau belum dapat dipenuhi dari dalam negeri.

“Sektor industri dalam negeri, khususnya kabel serat optik dan produk elektronika lainnya akan sangat terganggu, dan akan terlemahkan atas kondisi bebas impor tersebut,” ujarnya. Selain itu, efek terjeleknya dari implementasi Permendag No 8/2024 dapat mengakibatkan industri dalam negeri khususnya kabel serat optik bisa bangkrut dan tutup atau berhenti beroperasi.

 

2 dari 5 halaman

Kebijakan Bebas Impor

“Dampak kebijakan bebas impor kabel serat optik ini juga bisa mengakibatkan deindutrialisasi. Hal ini sudah terjadi dengan telah tutup beroperasinya dua pabrik kabel serat optik dalam negeri dengan share PMA dari anggota Apkabel yang berasal dari investor tingkat dunia, yakni Eropa dan Jepang yang sudah tutup beberapa tahun lalu. Apabila kebijakan bebas impor kabel serat optik ini tetap diberlakukan, maka akan menyusul pabrik-pabrik kabel serat optik lainnya yang juga akan ikut tutup,” paparnya.

Pada awalnya, Apkabel menyambut dengan baik diterbitkannya Permendag No.36/2023. Bahkan, Apkabel mengapresiasi atas penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik.

“Karena Permenperin tersebut memberikan harapan baru bagi sektor industri kabel serat optik,” imbuhnya. Selain itu, terbitnya SNI Kabel Serat Optik juga memperkuat harapan tersebut bagi industri kabel. “Namun sebaliknya, sektor industri kabel serat optik sangat kecewa dan bersedih dengan terbitnya Permendag No 8/2024 yang membebaskan impor produk kabel serat optik,” tegas Noval. 

3 dari 5 halaman

Relaksasi Aturan Impor Bahayakan Industri Tekstil

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menerima masukan dari para pelaku industri tekstil dan pakaian jadi yang menyatakan kekhawatiran dengan adanya relaksasi aturan pelarangan dan/atau pembatasan (lartas) terhadap barang-barang impor yang serupa dengan barang-barang sejenis yang sudah diproduksi di dalam negeri.

“Sebagai pembina industri, Kemenperin menampung masukan dari para pelaku industri mengenai kendala-kendala yang dihadapi terkait peningkatan produktivitas dan daya saingnya. Kekhawatiran pelaku industri TPT timbul karena tidak ada lartas terhadap barang impor yang sejenis dengan barang yang mereka produksi,” ujar Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Adie Rochmanto Pandiangan di Jakarta, dikutip Snein (27/5/2024).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 2,64% (yoy) pada triwulan I – 2024. Sementara itu, pada periode yang sama, permintaan luar negeri untuk produk tekstil dan pakaian jadi juga mengalami peningkatan volume, yaitu sebesar 7,34% (yoy) untuk produk tekstil dan 3,08% (yoy) untuk pakaian jadi.

Selain pesanan ekspor, stabilitas konsumsi rumah tangga domestik juga membantu mendorong pertumbuhan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi, serta Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki, seiring dengan pelaksanaan Pemilu 2024, hari libur nasional, cuti bersama, serta momen Lebaran.

Kendati demikian, Kemenperin optimistis pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi dapat semakin optimal, apabila pencegahan konsumsi pakaian bekas atau thrifting dan pengawasan pasar sesuai aturan yang berlaku terhadap barang-barang impor lebih ditingkatkan.

Namun tetap timbul kekhawatiran di kalangan pelaku industri TPT atas gempuran produk impor. Sebelumnya, industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan sepatu menikmati kenaikan permintaan sebesar 30-50% dari dalam negeri dengan berlakunya aturan pertimbangan teknis (pertek) untuk barang impor, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

 

4 dari 5 halaman

Serbuan Pakaian dan Sepatu Impor

Seperti disampaikan Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman dan Endang mewakili Pelaku Usaha IKM Alas Kaki Bandung, mengatakan bahwa ara pelaku IKM garmen dan sepatu khawatir dalam waktu dekat, pasar akan kembali dibanjiri impor pakaian jadi dan sepatu impor.

"Ini bukan hanya sebuah kekhawatiran tetapi pengalaman pahit yang kami alami dalam tahun-tahun belakangan ini ketika impor pakaian jadi dan alas kaki tidak dikendalikan," ujar Nandi.

Menurut Nandi, hal tersebut dapat menyebabkan banyak IKM kembali melemah dan akan terjadi penutupan produksi. Pihaknya berharap, pemerintah kembali memberlakukan perlindungan pasar dari gempuran impor, baik melalui pertek maupun aturan lain.

Pernyataan lainnya berasal dari Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Redma menyatakan, pengendalian impor tidak akan efektif karena semuanya sudah direlaksasi.

“Kami awalnya menyambut baik langkah Kementerian Perdagangan melakukan pengendalian impor melalui Permendag No. 36/2023. Permendag tersebut sudah disosialisasikan sejak Desember 2023 dan berlaku 10 Maret 2024. Jadi penumpukan kontainer yang terjadi karena ulah importir nakal yang tidak mau mengurus izin Persetujuan Impor,” ujarnya.

 

5 dari 5 halaman

85% Importir Pedagang

Redma berpendapat, dari 26.000 kontainer yang diberitakan tertahan, 85% di antaranya adalah barang jadi milik importir pedagang dan hanya 15% yang benar-benar untuk kepentingan industri manufaktur.

Lebih lanjut, Redma mengatakan agar industri tumbuh kuat, perlu visi integrasi industri, dalam hal ini hilirisasi dan penguatan hulu. Namun, Redma memandang bahwa visi pengembangan dan integrasi industri tersebut tidak didukung oleh Kementerian lain. Hal ini dapat berakibat pada terjadinya deindustrialisasi dengan industri sebagai korbannya.

"Ketiadaan aturan yang merupakan alat pengendalian impor dapat berpengaruh pada iklim investasi dan perkembangan industri tekstil dalam negeri, yang juga berdampak pada tingkat penyerapan tenaga kerja," pungkas Redma.

Video Terkini