Liputan6.com, Jakarta - BPJS Watch mengkritisi Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memotong gaji pekerja sebesar 2,5 persen per bulan dan perusahaan 0,5 persen.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2024.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan potongan iuran gaji pekerja sebesar 2,5 persen per bulan dapat menurunkan daya beli masyarakat dan mengganggu arus kas (cash flow) perusahaan. Padahal, kebutuhan rumah pekerja bisa dijawab oleh Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJamsostek sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu lagi membayar iuran.
Advertisement
"Dengan diwajibkan membayar iuran 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha maka akan menggangu kebutuhan konsumsi buruh dan cash flow perusahaan," ujar Timboel dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Selanjutnya, dana yang dipupuk di Tapera tidak mendapatkan kepastian imbal hasilnya, yang nanti ditentukan secara subyektif oleh BP Tapera. Hal ini berbeda dengan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah.
"Dan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT adalah di atas 1 hingga 2 persen di atas rata-rata suku bunga deposito pemerintah," bebernya.
Kemudian, saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN/D di BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 17 Tahun 2021 (junto Permenaker no. 35 Tahun 2016) tentang Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT. Program ini memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera yaitu KPR, Pembangunan rumah, atau Renovasi rumah.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar kewajiban kepesertaan pekerja swasta/BUMN/D diubah menjadi kepesertaan sukarela. Sehingga bila ada perusahaan swasta/BUMN/BUMD yang tidak ingin mengikuti program Tapera.
"Pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat mandiri termasuk Masyarakat miskin," ujarnya.
Beban Baru
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan pemotongan gaji bagi para pekerja swasta maupun ASN/PNS sebesar 3 persen untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memberatkan perusahaan. Selain itu, pemangkasan gaji karyawan tersebut juga akan membebani pekerja.
"Apindo menilai aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik pemberi kerja maupun pekerja," tulis Apindo dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 28 Mei 2024.
Apindo mencatat, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja saat ini sebesar berkisar 18,24 persen sampai 19,74 persen. Rinciannya, pungutan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) masing-masing yakni Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24 sampai 1,74 persen, dan Jaminan Pensiun 2 persen.
Selanjutnya, pungutan program Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) berkisar 4 persen. Lalu, tanggungan program Cadangan Pesangon berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.
Advertisement
Buruh Minta Iuran Tapera 3% Dibatalkan
Sebelumnya, konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) memberikan komentarnya terhadap Penerbitan PP No 21/2024 terkait iuran tapera sebesar 3% per bulan.
Dalam tanggapannya, Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno meminta pembatalan PP 21/2024 tersebut.
Ia mengaku unsur serikat buruh yang mewakili buruh tidak pernah diajak untuk berdialog atau diskusi untuk membahas aturan tersebut. Sunarno menilai, prinsip hak berdemokrasi dan musyawarah tidak dilakukan sebelum penerbitan PP 21/2024.
“Bahwa kaum Buruh sudah bekerja keras dan membayar pajak Negara, maka buat konsep kenaikan upah buruh Indonesia secara layak dan adil agar hidup buruh bermartabat dan mampu mencukupi kebutuhan dasar : makanan bergizi, pakaian baik, tempat tinggal layak dan nyaman, kesehatan terjamin, pendidikan berkwalitas, transportasi dan informasi memadai dan modern,” ujar Sunarno dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa (28/5/2024).
Buruh Sudah Sulit
Ia menyebut, dalam PP 21/2024 belum mencakup pemahaman tentang kesulitan yang dihadapi komunitas buruh selama ini.
Isu-isu itu mulai dari upah rendah, status kerja rentan dan mudah di PHK, pemberangusan serikat buruh, maraknya sistem kerja outsourcing, K3 buruk, hingga pelanggaran hak-hak normatif.
“Potongan-potongan gaji buruh saat ini sudah sangat besar, tidak sebanding dengan besaran kenaikan upah buruh yang sangat kecil,” jelas dia.
Daftar Potongan Gaji
Potongan-potongan ini yaitu BPJS Kesehatan 1%, Jaminan Hari Tua (JHT) 2 %, Jaminan Pensiun 1%, PPH 21 (take home pay) 5% dari PTKP, potongan koperasi, kemudian tambah Tapera 2,5 % dari buruh.
"Sehingga Jika upah buruh 2 juta s.d 5 juta/bulan. Maka potongan upah buruh bisa mencapai Rp.250.000 s.d 400.000 an/bulan,” lanjutnya.
"Potongan Tapera jelas membebani buruh, mengingat dengan adanya potongan upah tersebut lantas buruh tidak langsung mendapatkan rumah dalam waktu cepat,” tambah Surnano.
Sunarno menyarankan, agar Pemerintah seharusnya berfokus untuk pengadaan rumah bagi buruh dari Anggaran Negara.
"Bukan malah memotong gaji buruh yang kecil tersebut sebagai modal investasi. Atau bahkan dengan mengotak-atik Dana BPJS untuk modal investasi ekonomi makro yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” ucapnya.
"Kami mencurigai pemotongan gaji untuk Tapera tersebut hanyalah modus politik untuk kepentingan modal politik dan kekuasaan rezim oligarki,” ia menyebutkan.
Advertisement