Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara terkait penetapan iuran Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat yang menuai penolakan dari pekerja dan pengusaha.
Menko Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan lebih lanjut terkait aturan tersebut.
“Nanti kami lihat,” kata Airlangga kepada di St Regis Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Advertisement
Airlangga lebih lanjut menyebutkan, bahwa akan ada evaluasi oleh Kementerian terkait untuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam hal ini, Airlangga menyebut, evaluasi bakal melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Tentu, nanti dicek (evaluasi) ke Pak Menteri PUPR,” bwbernya.
Terkait kapan eveluasi tersebut dilakukan, Airlangga menjawab akan terlaksana dalam waktu dekat.
“Ya tidak lama lah,” ucapnya.
Aturan terbaru mengenai tarif Tapera diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Jokowi pada 20 Mei 2024.
Aturan tersebut menunjukkan, simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta, atau dari penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Iuran Tapera bagi peserta pekerja ditanggung bersama, yaitu pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Sementara untuk peserta pekerja mandiri seluruh simpanan ditanggung olehnya.
Gaji Karyawan Dipotong Iuran Tapera, DPR: Pekerja Makin Terhimpit
Sebelumnya, Masyarakat kembali ramai dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto, menilai berbagai kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat ini merupakan hal yang wajar, karena berkaitan dengan pemotongan gaji pegawai untuk iuran Tapera di saat kebutuhan hidup makin menghimpit.
“Pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera, namun pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera,” kata Edy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/5/2024).
Hal ini mengacu pada Pasal 38 ayat 1b dan 1c yang menyebut syarat pekerja yang akan mendapatkan manfaat adalah yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.
Lalu pada Pasal 39 ayat 2c yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera.
"Ini artinya BP Tapera akan menentukan juga akses ke manfaat Tapera yang berupa KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah," ujarnya.
Melihat ini, menurutnya Tapera berbeda dengan BPJS yang mengutamakan asas gotong royong dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh pesertanya.
Politisi PDI Perjuangan ini juga melihat dana yang dikumpulkan di Tapera tidak mendapatkan kepastian timbal hasil. Edy pun membandingkan dengan Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal dengan rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah. Bahkan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan pada peserta JHT di atas rata-rata suku bunga bank.
“Saat ini sudah ada fasilitas di BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera. Ada program namanya Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Edy.
Advertisement
Maksimalkan MLT Perumahan
Ia melihat akan ada overlapping antara MLT Perumahan dan UU Tapera. Dia pun meminta agar memaksimalkan MLT perumahan untuk pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta tidak diwajibkan ikut Tapera.
“Dengan diwajibkan membayar iuran Tapera 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha maka akan menggangu upah buruh dan cash flow perusahaan,” imbuhnya.
Edy mengusulkan agar pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat miskin. Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti di Program JKN. Sumber dananya bisa dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN..
“Yang terjadi di lapangan itu harga bahan pokok mahal, harga properti tidak dapat dijangkau. Masyarakat benar-benar dihimpit,” pungkas Edy.